catatan | Ingot Simangunsong
PAPAN catur politik itu, sebenarnya sudah tertutup rapi, dan tidak perlu dibuka lagi dalam turnamen apa pun, termasuk dalam perebutan kekuasaan.
Tegasnya, terhentilah gerakan bidak, karena sudah tidak ada siapa-siapa yang akan menyaksikan atau yang mau peduli terhadap manuver apa pun yang digerakkan tangan si pengendali atau pawang.
Artinya, kekuasaan itu, berbatas waktu. Berbatas pikir. Berbatas rasa. Berbatas keabadian.
Sang pengendali atau pawang memang menutup papan catur politiknya, tetapi yang meradang dalam jaringan tubuhnya, masuknya serangan virus post power syndrome.
Nah… virus itulah yang menyerang sendi-sendi keberkuasaan yang pernah singgah dalam jejak perpolitikan si pengendali atau pawang tersebut. Dia tidak rela bergerak atau berpindah dari suasana kekuasaan ke suasana rakyat biasa.
Menjelma jadi berhala
Kemudian, dengan apa yang dia miliki — tentu finansial — yang tak terhitung bilangannya, si pengendali atau pawang itu, menjelmakan dirinya, menjadi sebagai tokoh yang dipuja-puji atau lebih ekstrim yang harus “dijilat”.
Peluang itu, dapat diwujudkannya, karena di sekelilingnya, cukup banyak para pemuja atau penjilat yang dapat digerakkan.
Dengan amunisi unlimited, sebagai pawang atau pengendali, diposisikan dirinya — meminjam mulut para penjilat — layaknya berhala yang harus dipuja-puji.
Kemudian mengatur strategi untuk dapat mempertahankan dan menjaga harta, daftar dosa keberkuasaan dan lainnya, agar tidak disentuh penegak hukum. Juga tidak tersandera menjadi konsumsi “mainan politik” para petualang.
Merasa para pemujanya masih solid, gerakan demi gerakan dijadikannya sebagai aksi, untuk mempertontonkan bahwa diri si berhala masih ada dan masih kuat.
Benarkah begitu? Tentu tidak. Kekuatan manusia itu kan, berbatas waktu, yang sudah ditetapkan Sang Khalik.
Tetapi si pawang atau pengendali itu, dengan segala daya bertahannya — sepertinya dibantu kekuatan lain yang gelap — ingin melawan kodrat. Memangnya, manusia punya lisensi dalam menentukan apa dan bagaimana perjalanan hidupnya?
Si pawang atau pengendali itu, seiring perjalanan waktu, akan ditinggalkan, tidak ada lagi yang membela, tidak ada lagi yang memuja dan tidak ada lagi yang menjilat. Kemudian menjadi kesepian di keramaian hiruk pikuk rakyat yang pernah dipimpin sekaligus pernah disakitinya.
Si pawang atau pengendali itu, akan berdiri kaku sebagai berhala yang kehilangan kunci kotak pandora di kesepian yang memilukan. Kotak pandora itu, menyimpan berbagai kejahatannya sebagai pawang atau pengendali.
Penulis: Ingot Simangunsong, Pimpinan Redaksi Mediaonline Segaris.co