Oleh | Ingot Simangunsong
SETIAP awal tahun ajaran, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) selalu menjadi harapan. Triliunan rupiah yang digelontorkan pemerintah digadang-gadang mampu meringankan beban pendidikan, terutama bagi siswa dari keluarga kurang mampu.
BOS seharusnya memastikan buku pelajaran tersedia, ruang belajar terawat, dan guru honorer tidak lagi digaji sekadarnya.
Namun, di banyak sekolah, harapan itu justru tergerus oleh praktik penyalahgunaan. Kepala sekolah, yang dipercaya sebagai nahkoda anggaran, kerap berubah menjadi aktor utama dalam kasus korupsi.
Jejak Kasus yang Mengkhawatirkan
Nama RA, Kepala SMA Negeri 16 Medan, kini jadi sorotan. Ia ditahan karena diduga menyelewengkan dana BOS senilai Rp826 juta dari total lebih dari Rp3 miliar yang diterima sekolah pada 2022–2023.
Kasus serupa menjerat RN, mantan Kepala SMA Negeri 19 Medan, dengan kerugian negara Rp772 juta.
Lebih mencengangkan lagi, di Ponorogo, Kepala SMK PGRI 2 ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan BOS hingga Rp25 miliar. Angka fantastis yang membuat publik terperangah: bagaimana dana sebesar itu bisa lolos dari pengawasan?
Di daerah lain, modus penyimpangan tak kalah beragam. Ada yang melakukan mark-up pengadaan, ada pula yang membuat laporan fiktif.
Bahkan di Kepahiang, Bengkulu, seorang kepala sekolah diduga menyuap jurnalis agar berita dugaan penyimpangan dana BOS tidak dipublikasikan.
Beban Ganda yang Menjerat
Mengapa pola ini terus berulang? Jawabannya ada pada desain regulasi. Kepala sekolah ditempatkan sebagai pengelola sekaligus pengguna anggaran karena dianggap paling memahami kebutuhan sekolah.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan beban ganda ini sering berakhir masalah. Tidak semua kepala sekolah memiliki kemampuan manajemen keuangan.
Banyak yang terbiasa mengajar di kelas, bukan mengutak-atik laporan keuangan yang berlapis aturan.
Seorang guru senior di Medan, yang enggan disebut namanya, mengatakan: “Kepala sekolah itu mestinya fokus membina guru dan murid. Tapi sekarang, waktunya lebih banyak tersedot ke administrasi dan urusan dana. Akhirnya ada yang lelah, ada yang tergoda.”
Lemahnya Pengawasan
Di atas kertas, pengawasan dana BOS sudah diatur berlapis: ada laporan keuangan, ada komite sekolah, bahkan ada audit dari inspektorat. Tetapi praktiknya sering longgar.
Transparansi minim, partisipasi publik nyaris tidak ada, dan laporan penggunaan dana hanya menumpuk di berkas yang jarang ditinjau.
Kasus di Batubara, Sumatra Utara, misalnya, menunjukkan bagaimana lemahnya pengawasan.
Dua kepala sekolah dituntut 18 bulan penjara akibat penyalahgunaan BOS.
Fakta bahwa kasus baru terbongkar setelah berlangsung lama menandakan sistem kontrol belum berjalan efektif.
Mencari Model Baru
Pertanyaan pun mencuat: masih relevankah kepala sekolah menjadi pelaksana anggaran BOS?
Beberapa kalangan mulai menggulirkan gagasan pembentukan unit keuangan profesional di setiap sekolah. Seperti bendahara negara dalam skala kecil, unit ini bertugas mengelola teknis pencairan, pelaporan, hingga audit internal. Kepala sekolah cukup terlibat dalam perencanaan dan pengawasan.
Selain itu, penguatan kapasitas juga mutlak diperlukan. Pelatihan, sertifikasi, hingga evaluasi berkala terkait tata kelola keuangan harus menjadi prasyarat bagi kepala sekolah.
Transparansi publik—melalui papan pengumuman sekolah atau situs web resmi—juga disebut sebagai kunci.
Jalan Panjang Reformasi
Meski begitu, perubahan tidak bisa dilakukan seketika. Reformasi pengelolaan BOS menuntut sinergi: pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, hingga masyarakat harus terlibat.
Tanpa itu, setiap tahun akan ada nama baru kepala sekolah yang terjerat kasus serupa.
Pada akhirnya, esensi BOS harus dikembalikan ke tujuan awal: memastikan setiap anak Indonesia, dari kota hingga pelosok desa, mendapat pendidikan yang layak tanpa bayang-bayang korupsi.
Penulis: Ingot Simangunsong, Pimpinan Redaksi Mediaonline Segaris.co