Oleh | Ingot Simangunsong
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset tidak lahir dari satu individu tertentu, melainkan melalui proses panjang dan kolaboratif antara sejumlah lembaga penegak hukum serta pembuat kebijakan.
Ide dan perumusannya berkembang bertahap sejak lebih dari satu dekade lalu hingga akhirnya diformalkan oleh pemerintah dan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Gagasan awal penyusunan RUU ini mulai muncul sekitar tahun 2008, ketika sejumlah lembaga hukum dan keuangan melihat perlunya payung hukum yang memungkinkan negara merampas aset hasil tindak pidana tanpa menunggu putusan pidana.
Naskah akademik resminya kemudian disusun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 2012.
Tim penyusun kala itu diketuai oleh Dr. Ramelan, yang merumuskan dasar-dasar hukum serta tujuan pembentukan undang-undang tersebut.
Lembaga seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pihak yang paling aktif mendorong kelahiran regulasi ini.
PPATK tercatat berperan besar dalam memberikan masukan teknis serta analisis terkait mekanisme pelacakan dan penyitaan aset hasil kejahatan, sehingga sering disebut sebagai salah satu penggagas utama di balik RUU ini.
Tahapan formal pengajuan RUU dimulai pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, ketika pemerintah secara resmi mengirimkan Surat Presiden (Surpres) Nomor R-22/Pres/05/2023 kepada DPR pada 4 Mei 2023. Surpres tersebut berisi permintaan agar DPR segera membahas RUU Perampasan Aset.
Surat tersebut diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR yang diketuai Indra Iskandar, dan disampaikan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti.
Ketua DPR Puan Maharani kemudian memastikan bahwa RUU tersebut akan masuk dalam agenda pembahasan legislatif.
Proses administrasi selanjutnya dijalankan melalui Rapat Pimpinan (Rapim) dan Badan Musyawarah (Bamus) guna menentukan alat kelengkapan DPR yang akan membahasnya.
Setelah itu, RUU Perampasan Aset ditempatkan dalam ranah pembahasan Badan Legislasi (Baleg) dan Komisi III DPR RI, serta beberapa kali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.
Hingga tahun 2025, pembahasannya terus digiatkan sebagai bagian dari upaya memperkuat sistem hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Dengan demikian, meski tidak memiliki satu “pencetus” tunggal, RUU Perampasan Aset merupakan hasil kerja panjang lintas lembaga — mulai dari PPATK, Kemenkumham, dan BPHN, hingga Presiden Joko Widodo yang secara resmi mengajukannya ke DPR.
Proses tersebut mencerminkan komitmen pemerintah dan parlemen untuk menciptakan instrumen hukum yang lebih efektif dalam menjerat pelaku kejahatan dan mengembalikan aset negara yang dirampas secara ilegal.
Penulis, Ingot Simangunsong, PimpinanRedaksi Mediaonline Segaris.co