Oleh | Ingot Simangunsong
DALAM beberapa tahun terakhir, ruang publik Indonesia semakin bising oleh perdebatan para pejabat tinggi negara di media sosial.
Platform seperti X (Twitter), Instagram, hingga TikTok kini bukan hanya menjadi ajang komunikasi publik, tetapi juga arena adu argumentasi, saling sindir, bahkan saling membuka aib antarpejabat.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini bentuk keterbukaan informasi, atau justru tanda kemunduran etika kepemimpinan?
Media Sosial dan Transformasi Komunikasi Politik
Tak bisa dipungkiri, media sosial telah mengubah cara pejabat berinteraksi dengan rakyat.
Dengan satu unggahan, seorang menteri bisa menjangkau jutaan warga tanpa perlu perantara media massa.
Transparansi meningkat, publik dapat langsung menilai sikap, ide, dan kebijakan seorang pejabat.
Namun, perubahan cepat ini juga melahirkan sisi gelap: ketika ego politik dan kepentingan pribadi lebih menonjol daripada tanggung jawab institusional.
Banyak pejabat tampak lebih sibuk mempertahankan citra pribadi daripada menyampaikan kinerja lembaga.
Media sosial pun bergeser dari alat komunikasi publik menjadi panggung pertunjukan ego, tempat “adu gengsi” dan “saling bongkar borok” di hadapan rakyat.
Krisis Keteladanan dan Dampak bagi Publik
Ketika pejabat publik saling menyerang di ruang digital, dampaknya lebih besar dari sekadar sensasi sesaat.
Pertama, masyarakat kehilangan figur teladan. Rakyat yang semestinya mendapat contoh sikap dewasa justru disuguhi tontonan konflik personal yang tidak produktif.
Kedua, wibawa institusi negara ikut tercoreng. Perdebatan terbuka antara pejabat satu kementerian dengan kementerian lain menimbulkan kesan bahwa koordinasi pemerintahan rapuh dan ego sektoral lebih dominan daripada semangat kolektif.
Fenomena ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah secara keseluruhan.
Di era keterbukaan informasi, kredibilitas tak hanya dibangun dari prestasi, tetapi juga dari perilaku komunikasi yang mencerminkan integritas dan kedewasaan.
Seharusnya: Etika Komunikasi dan Tata Kelola Digital bagi Pejabat
Seorang pejabat negara bukanlah influencer yang bebas berpendapat tanpa konsekuensi.
Setiap kata, unggahan, atau komentar membawa bobot institusional. Karena itu, perlu adanya etika komunikasi publik digital yang lebih tegas — bukan untuk membungkam, tetapi untuk menjaga marwah jabatan.
Idealnya, perbedaan pandangan antarlembaga diselesaikan di ruang koordinasi resmi, bukan di lini masa media sosial.
Jika pun perlu menyampaikan klarifikasi atau tanggapan kepada publik, seharusnya dilakukan dengan bahasa yang beradab, berbasis data, dan berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi.
Selain itu, pemerintah dapat mendorong pelatihan literasi digital dan komunikasi publik bagi pejabat.
Tujuannya agar mereka memahami bahwa setiap unggahan memiliki dampak sosial dan politik yang luas.
Media sosial semestinya menjadi sarana memperkuat kepercayaan publik, bukan ajang pamer konflik antarpejabat. Keterbukaan bukan berarti kebablasan.
Pejabat publik di era digital perlu menyeimbangkan transparansi dengan etika, serta profesionalisme dengan tanggung jawab moral.
Sebab, di mata rakyat, pemimpin yang bijak bukan yang paling keras berbicara — tetapi yang paling tenang dalam menyelesaikan persoalan.
Penulis, Ingot Simangunsong, Pimpinan Redaksi Mediaonline Segaris.co