Oleh | Hatoguan Sitanggang
MENURUT perhitungan sejarah, apabila marga Sagala Raja disebut sebagai salah satu marga tertua dan telah mencapai 26 generasi sejak masa Si Raja Batak, maka bila satu generasi dihitung rata-rata 25 tahun, peradaban Batak diperkirakan berusia sekitar 750 tahun.
Namun, jika tarombo atau silsilah Batak versi W.H. Hutagalung dijadikan satu-satunya rujukan, maka keabsahannya patut dipertanyakan. Pasalnya, perhitungan tersebut justru menggambarkan bahwa bangsa Batak adalah suku termuda di Pulau Sumatera — sesuatu yang dinilai tidak sejalan dengan berbagai bukti antropologis dan sejarah lisan yang berkembang di masyarakat.
Istilah “Batak” sendiri baru dikenal setelah masa kolonial. Sebelum penjajahan, masyarakat pesisir dikenal sebagai Melayu, sementara penduduk yang tinggal di wilayah pegunungan disebut Batak. Kedua kelompok ini kemudian menjadi sasaran eksploitasi Belanda yang memanfaatkan mereka sebagai tenaga kerja di perkebunan teh, karet, dan tembakau selama lebih dari tiga abad penjajahan.
Hingga kini, terutama di kawasan Samosir yang diyakini sebagai titik awal peradaban Si Raja Batak, belum ada penelitian ilmiah resmi yang dapat memastikan kapan manusia pertama kali bermukim di wilayah tersebut. Letusan dahsyat Gunung Toba sekitar 77.000 tahun lalu memang meninggalkan jejak geologis besar, namun belum ditemukan bukti arkeologis yang menegaskan adanya kehidupan manusia prasejarah di kawasan itu.
Karena itu, menjadikan tarombo karya W.H. Hutagalung sebagai acuan tunggal dianggap tidak tepat. Dokumen tersebut diyakini sebagai bagian dari strategi politik kolonial Belanda yang bertujuan memetakan, memecah, dan mengendalikan kerajaan-kerajaan kecil di Tanah Batak melalui sistem registrasi bius. Dengan demikian, secara tidak langsung, Hutagalung — yang kala itu menjabat sebagai asisten Demang Belanda — turut berperan dalam memperkuat politik “pecah belah” di kalangan masyarakat Batak.
Penulis berpendapat, dalam menyusun tarombo, cukup menelusuri tiga generasi ke atas agar tetap rasional, dapat diverifikasi, dan tidak menimbulkan perdebatan yang berpotensi merusak nilai luhur Dalihan Natolu: Somba marhula-hula, Elek marboru, Manat mardongan tubu.
Sayangnya, di era digital saat ini, perdebatan mengenai tarombo di media sosial sering kali bergeser menjadi ajang saling klaim, saling merendahkan, hingga menimbulkan kebencian antar-marga. Padahal, nilai yang diwariskan leluhur adalah hormat, kerukunan, dan kebijaksanaan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa mental kolonial masih melekat di sebagian masyarakat. Meski penjajahan fisik telah berakhir, warisan sistem “pecah belah” masih hidup dalam pikiran dan perilaku sosial. Bahkan kini, bentuk penjajahan itu hadir dalam versi modern — penjajahan digital, ketika manusia dijajah oleh arus informasi, opini, dan teknologi tanpa disadari.
Sesungguhnya, tarombo, registrasi bius, dan bisoloit hanyalah instrumen yang dahulu digunakan penjajah untuk menguasai tanah adat, termasuk melalui pendirian lembaga keagamaan di atas lahan yang dulunya milik masyarakat adat.
Kini saatnya masyarakat Batak membuka mata dan hati, menyadari bahwa persatuan jauh lebih berharga daripada kebanggaan semu atas silsilah yang belum tentu benar.
Kita diwarisi akal, pikiran, dan budi pekerti untuk menimbang kebenaran, bukan untuk terus terjebak dalam warisan kolonial yang menyesatkan. Sebab, tarombo dan registrasi bius buatan penjajah sejatinya bukan catatan kebanggaan, melainkan alat penjajahan abadi yang membuat bangsa ini terus terpecah, saling curiga, dan kehilangan arah di tengah kemajuan zaman.
Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]
Keterangan foto
Jembatan Tano Ponggol di bawah lereng Gunung Toba, yang diyakini awal peradaban Raja Batak.







