catatan | ingot simangunsong
GURU Tidak Tetap (GTT) adalah guru yang belum berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan biasanya diangkat oleh pihak sekolah atau pemerintah daerah untuk mengisi kekurangan tenaga pendidik di sekolah-sekolah.
Mereka berperan penting dalam sistem pendidikan Indonesia, terutama di daerah yang kekurangan guru tetap.
Namun, GTT menghadapi berbagai masalah, terutama dalam hal penggajian, yang menjadi isu utama dalam dunia pendidikan.
Kegiatan penyebarluasan ideologi Pancasila dan Wasbang, Dasa Sinaga: “Peranan guru, sangat besar”
Masalah penggajian Guru Tidak Tetap:
Gaji tidak layak dan tidak pasti
Banyak GTT menerima gaji jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Bahkan, ada yang hanya dibayar Rp200.000 – Rp500.000 per bulan, tergantung dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau kebijakan sekolah masing-masing.
Sumber dana yang tidak tetap
Sebagian besar gaji GTT dibayar dari dana BOS atau iuran komite, yang tidak menjamin keberlangsungan penghasilan. Hal ini menyebabkan ketidakpastian pendapatan setiap bulan.
Belum diangkat sebagai ASN atau PPPK
Banyak GTT yang sudah mengabdi bertahun-tahun belum juga diangkat menjadi ASN atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), meskipun mereka sudah memenuhi syarat dan pengalaman kerja.
Tidak ada tunjangan dan jaminan sosial
GTT biasanya tidak mendapatkan tunjangan kinerja, tunjangan profesi, atau jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Ketimpangan pengakuan profesi
Meskipun peran dan beban kerja GTT sering setara dengan guru PNS, status mereka yang “tidak tetap” membuat mereka kurang dihargai, baik secara finansial maupun profesional.
Solusi yang didorong oleh berbagai pihak:
Pemerataan dan keadilan
Pengangkatan PPPK
Pemerintah didorong untuk mempercepat dan memprioritaskan pengangkatan GTT yang sudah lama mengabdi menjadi ASN atau PPPK.
Regulasi gaji minimum GTT
Perlunya regulasi nasional untuk menjamin standar gaji minimum bagi GTT, yang disesuaikan dengan UMR setempat.
Keterlibatan pemerintah daerah
Pemerintah daerah diharapkan lebih aktif dalam mengalokasikan anggaran daerah untuk menggaji GTT secara lebih layak.
Penguatan peran organisasi profesi guru
Organisasi seperti PGRI perlu lebih vokal dalam memperjuangkan hak dan kesejahteraan GTT.
*****
ADA beberapa dasar hukum yang bisa dijadikan payung hukum untuk pemerintah provinsi dalam menanggulangi penggajian Guru Tidak Tetap (GTT), meskipun pengaturannya masih belum seragam secara nasional dan banyak bergantung pada kebijakan daerah.
Berikut adalah beberapa peraturan yang relevan:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 12 ayat (1) huruf c dan Lampiran menyebutkan bahwa urusan pendidikan dasar menjadi kewenangan kabupaten/kota, sedangkan pendidikan menengah menjadi kewenangan provinsi.
Maka, pemerintah provinsi memiliki kewenangan penuh terhadap pengelolaan dan pembiayaan GTT pada jenjang SMA/SMK/SLB, termasuk penggajiannya.
Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Juknis Dana BOS Reguler
Menyebutkan bahwa dana BOS dapat digunakan untuk membayar honor GTT yang memiliki NUPTK dan mengajar minimal 24 jam per minggu.
Namun, keterbatasan dana BOS membuat penggajian dari sumber ini tidak bisa mencukupi secara layak, sehingga daerah didorong untuk menambah dari APBD.
Permendagri Nomor 84 Tahun 2022 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2023
Dalam lampirannya, pemerintah daerah, termasuk provinsi, diperbolehkan mengalokasikan anggaran dari APBD untuk membayar honorarium GTT sesuai kewenangannya.
Ini memberi dasar bagi provinsi untuk menganggarkan dana guna menggaji GTT pada SMA/SMK/SLB.
PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK
Memuat ketentuan tentang pengangkatan GTT menjadi PPPK, yang gajinya dibebankan pada anggaran pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dalam praktiknya, banyak provinsi ikut mengusulkan dan menganggarkan kebutuhan PPPK, termasuk GTT yang telah lulus seleksi.
Intinya:
Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan dan dasar hukum untuk menanggulangi penggajian GTT, khususnya di jenjang pendidikan menengah.
Dukungan regulasi ini memperbolehkan dan mendorong penggunaan APBD Provinsi untuk menggaji GTT secara lebih layak, sambil menunggu proses rekrutmen ASN/PPPK secara nasional.
Yang berwenang mengusulkan penggajian Guru Tidak Tetap (GTT) ke Pemerintah Provinsi adalah Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota tempat GTT tersebut bertugas, terutama jika sekolahnya berada di bawah kewenangan kabupaten/kota (misalnya SD dan SMP).
Namun, jika GTT bertugas di SMA/SMK, yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi sejak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka:
Kepala Sekolah SMA/SMK mengusulkan ke Dinas Pendidikan Provinsi, yang kemudian mengajukan kebutuhan anggaran ke Badan Keuangan Daerah dan Gubernur.
Penetapan dan pembayaran gaji GTT biasanya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi, tergantung pada kebijakan dan ketersediaan anggaran.
Kesimpulan:
Untuk SD/SMP: Diusulkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Untuk SMA/SMK: Diusulkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi.
Penulis, ingot simangunsong, pimpinan redaksi Segaris.co