Segaris.co
Rabu, 12 November 2025
No Result
View All Result
No Result
View All Result
  • PENDIDIKAN
  • KESEHATAN
  • PROFIL
  • News
  • SEREMONI
  • Kolom
  • Buah Pikir
Segaris.co
No Result
View All Result
Segaris.co
No Result
View All Result
  • PENDIDIKAN
  • KESEHATAN
  • PROFIL
  • News
  • SEREMONI
  • Kolom
  • Buah Pikir
Home Buah Pikir

Menafsir ulang Tarombo Batak: Antara warisan leluhur dan jejak kolonialisme

Ingot Simangunsong by Ingot Simangunsong
12 November 2025 | 09:16 WIB
in Buah Pikir
ADVERTISEMENT

Oleh | Hatoguan Sitanggang

MENURUT perhitungan sejarah, apabila marga Sagala Raja disebut sebagai salah satu marga tertua dan telah mencapai 26 generasi sejak masa Si Raja Batak, maka bila satu generasi dihitung rata-rata 25 tahun, peradaban Batak diperkirakan berusia sekitar 750 tahun.

Namun, jika tarombo atau silsilah Batak versi W.H. Hutagalung dijadikan satu-satunya rujukan, maka keabsahannya patut dipertanyakan. Pasalnya, perhitungan tersebut justru menggambarkan bahwa bangsa Batak adalah suku termuda di Pulau Sumatera — sesuatu yang dinilai tidak sejalan dengan berbagai bukti antropologis dan sejarah lisan yang berkembang di masyarakat.

Istilah “Batak” sendiri baru dikenal setelah masa kolonial. Sebelum penjajahan, masyarakat pesisir dikenal sebagai Melayu, sementara penduduk yang tinggal di wilayah pegunungan disebut Batak. Kedua kelompok ini kemudian menjadi sasaran eksploitasi Belanda yang memanfaatkan mereka sebagai tenaga kerja di perkebunan teh, karet, dan tembakau selama lebih dari tiga abad penjajahan.

Hingga kini, terutama di kawasan Samosir yang diyakini sebagai titik awal peradaban Si Raja Batak, belum ada penelitian ilmiah resmi yang dapat memastikan kapan manusia pertama kali bermukim di wilayah tersebut. Letusan dahsyat Gunung Toba sekitar 77.000 tahun lalu memang meninggalkan jejak geologis besar, namun belum ditemukan bukti arkeologis yang menegaskan adanya kehidupan manusia prasejarah di kawasan itu.

Karena itu, menjadikan tarombo karya W.H. Hutagalung sebagai acuan tunggal dianggap tidak tepat. Dokumen tersebut diyakini sebagai bagian dari strategi politik kolonial Belanda yang bertujuan memetakan, memecah, dan mengendalikan kerajaan-kerajaan kecil di Tanah Batak melalui sistem registrasi bius. Dengan demikian, secara tidak langsung, Hutagalung — yang kala itu menjabat sebagai asisten Demang Belanda — turut berperan dalam memperkuat politik “pecah belah” di kalangan masyarakat Batak.

Penulis berpendapat, dalam menyusun tarombo, cukup menelusuri tiga generasi ke atas agar tetap rasional, dapat diverifikasi, dan tidak menimbulkan perdebatan yang berpotensi merusak nilai luhur Dalihan Natolu: Somba marhula-hula, Elek marboru, Manat mardongan tubu.

Sayangnya, di era digital saat ini, perdebatan mengenai tarombo di media sosial sering kali bergeser menjadi ajang saling klaim, saling merendahkan, hingga menimbulkan kebencian antar-marga. Padahal, nilai yang diwariskan leluhur adalah hormat, kerukunan, dan kebijaksanaan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa mental kolonial masih melekat di sebagian masyarakat. Meski penjajahan fisik telah berakhir, warisan sistem “pecah belah” masih hidup dalam pikiran dan perilaku sosial. Bahkan kini, bentuk penjajahan itu hadir dalam versi modern — penjajahan digital, ketika manusia dijajah oleh arus informasi, opini, dan teknologi tanpa disadari.

Sesungguhnya, tarombo, registrasi bius, dan bisoloit hanyalah instrumen yang dahulu digunakan penjajah untuk menguasai tanah adat, termasuk melalui pendirian lembaga keagamaan di atas lahan yang dulunya milik masyarakat adat.

Kini saatnya masyarakat Batak membuka mata dan hati, menyadari bahwa persatuan jauh lebih berharga daripada kebanggaan semu atas silsilah yang belum tentu benar.

Kita diwarisi akal, pikiran, dan budi pekerti untuk menimbang kebenaran, bukan untuk terus terjebak dalam warisan kolonial yang menyesatkan. Sebab, tarombo dan registrasi bius buatan penjajah sejatinya bukan catatan kebanggaan, melainkan alat penjajahan abadi yang membuat bangsa ini terus terpecah, saling curiga, dan kehilangan arah di tengah kemajuan zaman.

Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]

Keterangan foto
Jembatan Tano Ponggol di bawah lereng Gunung Toba, yang diyakini awal peradaban Raja Batak.

Tags: Antara warisan leluhur dan jejak kolonialismeMenafsir ulang Tarombo BatakSamosirsegarisSegaris.coSiraja Batak
ShareTweetSendShareSharePinSend
ADVERTISEMENT

Berita Lainnya

Buah Pikir

Takut temui massa aksi pro “Tutup TPL”, Gubsu memilih kabur ke Jakarta

by Ingot Simangunsong
11 November 2025 | 21:09 WIB
0

Oleh | Sutrisno Pangaribuan BELUM lama berselang, HKBP, masyarakat Batak Toba di kawasan Danau Toba kena prank Gubsu, Bobby Nasution....

Read more
Buah Pikir

Horja Bius: Tradisi Sitolu Hae Horbo Pangururan yang hilang dari pranata sosial

by Ingot Simangunsong
10 November 2025 | 19:54 WIB
0

Oleh | Hatoguan Sitanggang SERING kita dengar kisah tentang Horja Bius, perhelatan sakral yang dahulu dilaksanakan oleh para Malim dan...

Read more
Buah Pikir

Pengkhianatan dari anak bangsa sendiri (refleksi Hari Pahlawan)

by Ingot Simangunsong
10 November 2025 | 13:29 WIB
0

Oleh: DR. Nursanjaya Abdullah SETIAP kali kita membuka lembaran sejarah negeri ini, selalu ada luka yang menganga di antara barisan...

Read more
Buah Pikir

Siraja Gusar, Anak Harajaon Raja Sitempang

by Ingot Simangunsong
10 November 2025 | 09:05 WIB
0

Oleh | Hatoguan Sitanggang SEJARAH mencatat kedatangan Siraja Gusar sebagai anak harajaon sekaligus penerima Tano Harajaon di Hariara Sigurdung, Desa...

Read more
Buah Pikir

Tabir Sejarah Pangururan: Pecah belah kaum adat Sitolu Hae Horbo di Era Kolonial

by Ingot Simangunsong
9 November 2025 | 16:11 WIB
0

Oleh | Hatoguan Sitanggang UPAYA memecah kesatuan adat Sitolu Hae Horbo di Pangururan mulai muncul pada sekitar tahun 1920. Pada...

Read more
Buah Pikir

Jejak Registrasi Bius di Pangururan: Warisan administrasi Belanda yang tinggalkan konflik tanah berlarut

by Ingot Simangunsong
9 November 2025 | 10:07 WIB
0

Oleh | Hatoguan Sitanggang PROSES registrasi 147 bius yang dilakukan Asisten Demang W.M. Hutagalung di Samosir pada 1904–1905 membawa dampak...

Read more

Berita Terbaru

News

Polda Aceh perkuat dukungan terhadap program Makanan Bergizi Gratis dan pembentukan SPPG

12 November 2025 | 10:35 WIB
Buah Pikir

Menafsir ulang Tarombo Batak: Antara warisan leluhur dan jejak kolonialisme

12 November 2025 | 09:16 WIB
Buah Pikir

Takut temui massa aksi pro “Tutup TPL”, Gubsu memilih kabur ke Jakarta

11 November 2025 | 21:09 WIB
News

Kolaborasi Polda Aceh dan UNPRI perkuat pengembangan SDM Polri melalui kemitraan pendidikan

11 November 2025 | 17:05 WIB
News

Kebijakan pemberangkatan tokoh agama dari APBD Samosir menuai kritik

11 November 2025 | 13:54 WIB
PENDIDIKAN

OSIS SMAN 7 Banda Aceh gelar LDKS untuk perkuat kapasitas kepemimpinan pengurus baru

11 November 2025 | 10:04 WIB
News

Ketua PT Banda Aceh lantik Muhammad Alqudri sebagai Ketua PN Suka Makmue

10 November 2025 | 20:20 WIB
Buah Pikir

Horja Bius: Tradisi Sitolu Hae Horbo Pangururan yang hilang dari pranata sosial

10 November 2025 | 19:54 WIB
News

Peringatan Hari Pahlawan di Samosir diwarnai upacara khidmat

10 November 2025 | 19:42 WIB
News

Wakapolda Aceh hadiri upacara Ziarah Nasional Peringatan Hari Pahlawan di Banda Aceh

10 November 2025 | 13:41 WIB
Buah Pikir

Pengkhianatan dari anak bangsa sendiri (refleksi Hari Pahlawan)

10 November 2025 | 13:29 WIB
News

Polda Aceh gelar upacara Hari Pahlawan, Kapolda ajak teladani semangat perjuangan

10 November 2025 | 11:28 WIB
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
  • Saran Pembaca
  • Syarat dan Ketentuan
  • Tentang Segaris.co

©2022-2024 Segaris.co

rotasi barak berita hari ini samosir sinata berita

No Result
View All Result
  • PENDIDIKAN
  • KESEHATAN
  • PROFIL
  • News
  • SEREMONI
  • Kolom
  • Buah Pikir

©2022-2024 Segaris.co

rotasi barak berita hari ini samosir sinata berita