Oleh | ingot simangunsong
DI tengah dinamika politik yang makin kompleks, dua istilah ini layak kita renungkan: berbudaya politik dan politik berbudaya. Keduanya seolah serupa, namun memiliki arah yang saling menguatkan.
Berbudaya politik menekankan pada rakyat sebagai subjek demokrasi. Politik berbudaya menyoroti aktor politik sebagai pelaku kebijakan.
Berbudaya politik berarti rakyat memiliki sikap kritis, partisipatif, dan menjunjung etika dalam menyikapi kehidupan politik.
Masyarakat tidak lagi mudah terpancing provokasi, tidak silau janji manis politik uang, dan tidak apatis terhadap pemilu. Mereka memilih berdasarkan nalar dan nilai, bukan karena tekanan atau godaan sesaat.
Menata Suara di 2029 melalui JALUR MARSIADAPARI: gagasan Dasa M. Sinaga, SE
Sementara itu, politik berbudaya berbicara tentang bagaimana para pemimpin dan partai politik bersikap.
Apakah mereka menjadikan kekuasaan sebagai alat pelayanan? Apakah mereka menghormati proses demokrasi dan menghargai keberagaman? Politik berbudaya adalah politik yang dijalankan dengan kejujuran, musyawarah, dan menjunjung nilai-nilai luhur bangsa.
Dalam praktiknya, politik tanpa budaya hanya akan melahirkan kekacauan. Sebaliknya, budaya tanpa politik cenderung pasif.
Karena itu, keduanya perlu berjalan beriringan. Rakyat yang cerdas akan memilih pemimpin yang beretika. Pemimpin yang berbudaya akan membentuk rakyat yang tercerahkan.
Saatnya kita mendorong dua hal ini menjadi gerakan bersama. Mulai dari ruang keluarga, sekolah, media sosial, hingga parlemen.
Karena hanya dengan berbudaya politik dan politik yang berbudaya, demokrasi kita akan tumbuh sehat, kuat, dan berkeadilan.
Semoga!!!
Penulis, pimpinan redaksi mediaonline segaris.co