Oleh | Hatoguan Sitanggang
PERTANYAAN mengenai alasan Raja Pangururan dikenal dengan sebutan Raja Sitempang atau Oppu Raja Natang belakangan kembali mencuat.
Isu ini mengundang diskusi serius, meski tidak semua pihak akan menemukan jawaban yang memuaskan—baik bagi mereka yang menelusuri sejarah secara objektif maupun bagi kelompok yang justru ingin menggiring narasi tertentu.
Perdebatan terkait marga dan tarombo semakin sering muncul dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, polemik tersebut dinilai wajar selama dibahas tanpa emosi. Pemahaman tentang sejarah, menurut penulis, harus diterima dengan lapang dada, termasuk bagaimana generasi masa kini menafsirkan warisan leluhurnya.
Kepemimpinan Raja Sitempang pada Abad ke-19
Pada abad ke-19, Raja Sitempang masih menjalankan kekuasaannya layaknya seorang raja tradisional.
Pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan kala itu berlokasi di Onan Tiga Urat, kawasan yang kini dikenal sebagai lokasi Tugu Raja Sitanggang atau Tugu Raja Pangururan.
Penempatan pusat kegiatan di wilayah tersebut diyakini bukan tanpa alasan. Sejumlah pihak menilai bahwa hadirnya tugu-tugu bersejarah di area itu merupakan penanda agar jejak kekuasaan para raja terdahulu tidak hilang ditelan perkembangan zaman.
Tekanan Pemerintah Kolonial dan Pemindahan Pusat Onan
Perjalanan sejarah Raja Sitempang tidak lepas dari intervensi pemerintah kolonial Belanda.
Pada 1907, Belanda menekan Raja Sitempang agar memindahkan Onan Tiga Urat ke wilayah Siogung-Ogung yang kemudian diberi nama Onan Panahatan.
Kondisi tersebut dimungkinkan karena Raja Sitempang mengalami kekalahan dalam peperangan, sehingga berbagai agenda kolonial dapat berjalan tanpa hambatan—termasuk proyek pembangunan Terusan Tano Ponggol di wilayah yang berdekatan dengan Onan Panahatan.
Perlu dicatat, Raja Sitempang berada dalam satu garis perjuangan dengan Raja Sisingamangaraja dalam melawan kolonialisme.
Meskipun keduanya mengalami kekalahan secara militer, semangat perlawanan mereka tidak pernah padam.
Peninggalan Sejarah yang Menguatkan Peran Raja Sitempang
Sejumlah situs sejarah di wilayah Pangururan saat ini menjadi bukti autentik peran dan kekuasaan Raja Sitempang pada masa lalu. Di antara peninggalan tersebut adalah: Parhutaan yang telah berusia ratusan tahun, Pohon Hariara Sigurdung, yang berdiri kokoh sebagai saksi perjalanan waktu, Situs Batu Homban di kawasan Desa Lumban, dan Golat Paromasan Sitolu Hae Horbo, yang mencerminkan struktur sosial dan ritual masyarakat tradisional.
Keberadaan situs-situs ini menegaskan bahwa Raja Sitempang bukan sekadar pemimpin sebuah marga, tetapi merupakan figur sentral yang memegang kekuasaan atas wilayah Pangururan dalam struktur sejarah Sitolu Hae Horbo.
Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]
Keterangan foto
Lokasi Tugu Raja Pangururan yang juga dulu menjadi Onan Tiga Urat.






