Catatan | Ingot Simangunsong
SEJAK 1965, ketika Prof. Per-Ingvar Brånemark dari Swedia pertama kali berhasil menanam implan gigi titanium pada manusia, teknologi ini terus berkembang pesat.
Namun, seperti semua prosedur medis, implan gigi juga memiliki risiko dan pernah terjadi sejumlah kasus komplikasi atau kegagalan.
Berikut rangkuman berdasarkan catatan medis dan penelitian sejak 1965:
Era awal (1965–1980-an): uji coba dan kesalahan
Kasus kegagalan cukup sering terjadi karena teknologi dan teknik operasi masih baru.
Masalah yang muncul termasuk penolakan tubuh terhadap logam, infeksi pada tulang rahang, dan kegagalan osseointegrasi (tulang tidak menyatu dengan implan).
Beberapa pasien mengalami nyeri kronis, radang gusi, atau bahkan kerusakan saraf rahang akibat posisi penanaman yang kurang tepat.
Era modern awal (1990–2000-an): perbaikan bahan dan teknik
Risiko komplikasi menurun drastis, tetapi tetap ada laporan kegagalan implan sekitar 5–10% dari total prosedur.
Penyebab umum:
infeksi pasca operasi (peri-implantitis)
kebersihan mulut yang buruk
penyakit sistemik (seperti diabetes)
kebiasaan merokok.
Ada juga kasus reaksi alergi terhadap logam (meskipun jarang).
Era kini (2010–sekarang): kasus langka tapi tetap ada
Teknologi digital, CT-scan 3D, dan bahan titanium murni membuat tingkat keberhasilan lebih dari 95%.
Namun, komplikasi ringan seperti peradangan gusi, pembengkakan, atau nyeri masih dilaporkan.
Kasus berat (misalnya kerusakan saraf permanen atau infeksi tulang kronis) kini jarang terjadi, tapi pernah dilaporkan di jurnal medis, terutama jika pemasangan dilakukan oleh dokter yang kurang berpengalaman.
Kesimpulan: Sejak 1965 tidak ada kasus “fatal massal” akibat implan gigi, tapi ada ribuan laporan kasus individual tentang komplikasi medis ringan hingga berat. Sebagian besar bisa diatasi dengan perawatan lanjutan.
Awal pengenalan Implan Gigi di Indonesia
Sekitar akhir 1980-an – awal 1990-an
Konsep dental implant mulai dikenal di kalangan akademisi kedokteran gigi Indonesia.
Saat itu, hanya beberapa fakultas kedokteran gigi besar seperti UI (Universitas Indonesia) dan UGM (Universitas Gadjah Mada) yang mulai mempelajari teknologi ini, mengacu pada penelitian Prof. Per-Ingvar Brånemark dari Swedia.
Belum ada pemasangan rutin di klinik umum karena biaya tinggi, teknologi terbatas, dan tenaga ahli masih sedikit.
Era Pengembangan Awal (1995–2005)
Muncul beberapa pelatihan dan seminar implantologi pertama di Indonesia.
Dokter gigi Indonesia mulai belajar dari luar negeri (Swedia, Jepang, Korea Selatan).
Beberapa rumah sakit besar di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai mencoba implan secara terbatas.
Implan masih dianggap barang mewah — hanya kalangan atas yang mampu melakukannya.
Era Modern (2005–2015)
Teknologi digital dan sistem implan dari Korea Selatan serta Eropa mulai masuk ke Indonesia.
Muncul banyak dokter spesialis periodonsia dan prostodonsia yang tersertifikasi implan.
Fakultas kedokteran gigi di berbagai universitas (UI, Unpad, Unair, UGM, USU) memasukkan implantologi dalam kurikulum klinik lanjutan.
Mulai berdiri asosiasi profesi implantologi seperti Indonesian Society of Implant Dentistry (ISID) yang mendorong standarisasi praktik.
Era Digital dan Akses Luas (2015–sekarang)
Implan gigi makin populer di klinik swasta, bahkan di kota-kota menengah seperti Medan, Makassar, dan Denpasar.
Harga mulai lebih terjangkau berkat produk implan lokal dan Korea.
Penggunaan CT-scan 3D, pemandu digital (digital surgical guide), dan printer 3D memudahkan perencanaan yang akurat.
Tingkat keberhasilan di Indonesia kini hampir sama dengan standar internasional (di atas 95%).
Muncul pula kampanye edukasi pasien tentang keamanan dan perawatan pasca implan.
Tantangan yang Masih Ada
Kurangnya regulasi ketat soal sertifikasi produk implan di pasaran.
Variasi kualitas layanan antar-klinik (terutama di luar kota besar).
Masih ada kesalahpahaman di masyarakat bahwa implan bisa dipasang sembarangan tanpa pemeriksaan tulang rahang.
Implan gigi mulai dikenal di Indonesia sejak akhir 1980-an, berkembang pesat sejak awal 2000-an, dan kini menjadi solusi pengganti gigi permanen yang umum dan aman jika dilakukan oleh tenaga ahli berpengalaman.
Penulis, Ingot Simangunsong, Pimpinan Redaksi Mediaonline Segaris.co