Oleh | Hatoguan Sitanggang
MENURUT tuturan para tetua Batak, Si Raja Batak (Sori Mangaraja ke-12) melakukan perjalanan sakral menuju Gunung Pusuk Buhit (Dolok Natimbo) untuk memanjatkan doa kepada Mulajadi Nabolon, Sang Pencipta menurut kepercayaan Batak kuno.
Dalam perjalanan spiritualnya, ia dikisahkan tujuh kali naik dan tujuh kali turun gunung tersebut sebagai bentuk permohonan yang tekun dan penuh tapa.
Selama tujuh hari berdoa di Dolok Natimbo, Si Raja Batak menerima wahyu dari Mulajadi Nabolon berupa dua kitab penting:
1. Surat Agong
berisi ilmu pengobatan dan ilmu perbintangan (sering disebut ari-ari Batak atau pustaha).
2. Tumbaga Holing
berisi ilmu pemerintahan.
Pembukaan perkampungan Pariksabungan
Setelah menerima wahyu, Si Raja Batak dan istrinya Engla Banua meninggalkan perjalanan panjang mereka dan membuka sebuah perkampungan bernama Pariksabungan.
Lokasi ini kini dikenal sebagai Limbong Mulana, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir.
Kedatangan mereka ke wilayah Pusuk Buhit diperkirakan terjadi sekitar tahun 800 Masehi.
Menurut cerita para tetua, kedatangan Si Raja Batak ke Sianjur Mula-mula dan Sijambur Mula Tompa bukan untuk mendirikan kerajaan baru, melainkan untuk berdoa dan memohon petunjuk dari Mulajadi Nabolon.
Itulah sebabnya puncak Pusuk Buhit hingga kini dianggap tempat paling sakral bagi mereka yang masih memegang kepercayaan kuno.
Asal kedatangan dari Barus
Dalam tradisi lisan, Si Raja Batak disebut datang dari Barus, wilayah pesisir barat Sumatra yang pernah menjadi pusat perdagangan internasional.
Ia dikisahkan sebagai keturunan raja yang terdesak akibat kekalahan perang melawan penjajah pada masa itu.
Untuk menyelamatkan garis keturunannya, ia mengikuti titah dalam mimpinya: datang ke Sianjur Mula-mula dan berdoa di Pusuk Buhit.
Cerita ini juga mengungkap bahwa Si Raja Batak memiliki istana di Barus. Selama dua belas generasi, garis Sori Mangaraja masih memerintah di wilayah tersebut sebelum menerima wahyu yang mengubah arah perjalanan batak hingga kini.
Membuka keturunan di Pariksabungan
Setelah tinggal dan membangun perkampungan Pariksabungan, Si Raja Batak dan Engla Banua melahirkan dua anak: Guru Tetea Bulan – anak pertama, dan Raja Isumbaon – anak kedua
Sesuai titah Mulajadi Nabolon
Guru Tetea Bulan menerima Surat Agong (ilmu pengobatan dan perbintangan).
Raja Isumbaon menerima Tumbaga Holing (ilmu pemerintahan).
Dari kedua anak inilah perkembangan dan regenerasi Bangso Batak bermula dan menyebar ke berbagai wilayah Sumatra hingga menjadi marga-marga Batak yang dikenal saat ini.
Pertanyaan yang sering muncul: Apakah hanya Si Raja Batak yang ada saat Itu?
Tentu tidak. Tidak mungkin seorang raja ada tanpa rakyatnya. Tradisi lisan Batak menyiratkan bahwa sudah ada penduduk lokal di sekitar Danau Toba dan Pusuk Buhit sejak jauh sebelum kedatangan Si Raja Batak.
Kisah Si Raja Batak fokus pada leluhur garis raja, bukan berarti wilayah itu sebelumnya kosong.
Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]





