Oleh | Hatoguan Sitanggang
JANGAN membahas tarombo atau silsilah marga yang tidak diteliti secara ilmiah.
Tanpa penelitian para ahli, pembahasan tarombo justru dapat menimbulkan persoalan kompleks terkait peradaban Si Raja Batak.
Banyak tulisan menyebut bahwa Si Raja Batak adalah “titik nol” peradaban di Sianjur Mula-mula, dan hal ini menjadi sumber persoalan karena tidak didasari penelitian mendalam.
Padahal, bila merunut bahasa dan cerita dari Si Raja Batak sendiri, disebutkan bahwa ia pernah melangkah menuju Gunung Pusuk Buhit atau Dolok Natimbo na Pitu Hali Nakkok, Pitu Hali Tuat (tujuh kali naik, tujuh kali turun) untuk berdoa kepada Mulajadi Nabolon.
Tujuannya adalah memohon titah berupa Buku Surat Agong (buku pengobatan dan pengetahuan perbintangan) dan Buku Tombaga Holing (buku tatanan pemerintahan).
Berdasarkan cerita yang dianggap sebagai fakta oleh sebagian pihak, setelah turun terakhir dari Gunung Pusuk Buhit, Si Raja Batak membangun sebuah perkampungan di kaki gunung, tepatnya di Limbong Mulana, yaitu desa yang kemudian dikenal sebagai Pariksabungan.
Diperkirakan kampung pertama ini didirikan sekitar 800 Masehi, dan saat itu hanya dihuni oleh dua orang: Si Raja Batak dan istrinya.
Menurut perjalanan hidup Si Raja Batak, sebagaimana dilihat oleh penulis, asal-usulnya bukan berasal dari Sianjur Mula-mula atau wilayah Samosir sebagaimana dikenal sekarang.
Ada keyakinan yang menyebut bahwa Si Raja Batak pernah memerintah sebagai raja dan duduk di tahtanya di kota Barus, dan kepemimpinannya berakhir sekitar 500 Masehi.
Setelah kerajaannya runtuh, ia bersama istrinya berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain.
Kehancuran kerajaan tersebut diasosiasikan dengan masuknya budaya dan agama baru yang dibawa para pedagang dari Timur Tengah yang melintasi Barus untuk membeli kemenyan dan kapur barus.
Barus dikenal sebagai kota tua yang menjadi pusat perdagangan Nusantara. Sejak masuknya pengaruh Persia sekitar tahun 600 Masehi, terjadi perubahan besar dalam kepercayaan masyarakat, dari kepercayaan lama (Parmalim) menuju agama baru.
Perubahan tersebut memicu berbagai pemberontakan. Istana kerajaan yang dibangun Si Raja Batak pun mulai terancam, sehingga ia harus melarikan diri demi menyelamatkan garis keturunannya.
Beberapa sumber menyebut bahwa Si Raja Batak memimpin hingga generasi kedua belas. Dari keturunan yang kedua belas inilah terbentuk perkampungan Pariksabungan yang kini dikenal berada di Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir.
Karena dari titik itulah mulai berkembangnya masyarakat Batak hingga tersebar ke seluruh penjuru dunia, menyebutnya sebagai “titik peradaban” masih dapat dimaklumi.
Penulis memberikan saran agar masyarakat Batak pada masa kini meminta kembali Pustaka Buku Surat Agong (ilmu pengobatan dan perbintangan) serta Buku Tombaga Holing dari Belanda, karena aset sejarah tersebut telah dibawa dan diteliti oleh mereka.
Akhirnya, penulis mengajak agar tidak lagi membahas tarombo yang hanya menimbulkan kontroversi di antara keturunan Batak, karena banyak bagian dari tarombo masih berupa mitos yang belum dapat dipertanggungjawabkan secara nyata.
Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]





