Oleh | Hatoguan Sitanggang
SERING kita dengar kisah tentang Horja Bius, perhelatan sakral yang dahulu dilaksanakan oleh para Malim dan dipimpin Parbaringin sebagai pemuka kepercayaan.
Upacara adat ini merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat Sitolu Hae Horbo di wilayah Pangururan — sebuah pranata sosial yang diatur secara turun-temurun sebelum akhirnya dirusak oleh sibontar mata, yaitu kolonial penjajah Belanda beserta para pengkhianat pribumi yang menjadi kaki tangannya.
Kini, Horja Bius telah lama hilang dari kehidupan masyarakat Sitolu Hae Horbo Pangururan.
Pergeseran budaya, masuknya agama-agama baru, serta pengaruh kuat budaya Barat di masa penjajahan telah mengikis adat istiadat leluhur yang dulunya begitu kental.
Bahkan, agama Parmalim, yang menjadi kepercayaan asli masyarakat Batak, perlahan lenyap dari tanah Samosir—terutama di Pangururan, yang dahulu dikenal sebagai salah satu pusat kehidupan adat dan spiritualitas Batak.
Pengaruh budaya luar dan sistem keagamaan baru telah membawa perubahan besar terhadap tatanan sosial yang dibangun nenek moyang ratusan tahun lalu.
Suka atau tidak suka, perubahan itu telah memudarkan nilai-nilai kearifan lokal yang dulu menjadi penopang kehidupan masyarakat adat Sitolu Hae Horbo.
Coba kita renungkan: Apakah budaya dan kepercayaan Batak hari ini masih sama seperti dahulu?
Apakah nilai-nilai yang diwariskan oleh para Parmalim masih hidup dalam keseharian kita?
Kini, Samosir telah ditetapkan sebagai kabupaten pariwisata. Selain menawarkan pesona alam Danau Toba, pemerintah dan masyarakat seharusnya juga menggali kembali budaya leluhur yang hampir hilang ditelan zaman.
Tradisi, sistem sosial, dan kepercayaan lokal perlu dihidupkan kembali, bukan hanya sebagai atraksi wisata, tetapi sebagai identitas sejati bangsa Batak yang berakar kuat pada falsafah Dalihan Natolu.
Seperti halnya Jembatan Tano Ponggol yang baru dibangun di era Presiden Joko Widodo — ditopang oleh tiga pilar besar sebagai simbol keseimbangan — demikian pula masyarakat Batak harus menopang peradabannya dengan tiga nilai utama: adat, budaya, dan spiritualitas leluhur.
Tulisan ini diharapkan menjadi pengingat bagi generasi muda agar mengenal sejarah pranata sosial, adat istiadat, dan kepercayaan leluhur mereka.
Karena sejatinya, agama dan sistem nilai orang Batak dahulu adalah Parmalim, yang dipimpin oleh Parbaringin, pemuja Mulajadi Nabolon, sumber kehidupan dan kekuatan alam semesta.
Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]
Keterangan foto
Lokasi kegiatan horja bius yang dilakukan Sitolu Hae Horbo saat dipimpin para malim dan Parbaringin.








