Oleh | Hatoguan Sitanggang
UPAYA memecah kesatuan adat Sitolu Hae Horbo di Pangururan mulai muncul pada sekitar tahun 1920.
Pada masa itu, komunitas adat tersebut telah memiliki struktur pemerintahan tradisional (harajaon) dan sistem sosial yang kuat.
Salah satu tokoh yang disebut berperan dalam dinamika tersebut adalah H.M. Hutagalung, yang dikenal sebagai asisten demang kolonial Belanda di wilayah tersebut.
Melalui penyusunan ulang tarombo atau silsilah marga, Hutagalung dikaitkan dengan penyebaran narasi bahwa Raja Sitempang berasal dari wilayah Dairi dan termasuk dalam garis keturunan marga Munthe.
Klaim ini menimbulkan perdebatan panjang karena dinilai bertentangan dengan struktur genealogis Sitolu Hae Horbo yang telah diwariskan turun-temurun.
Polemik tersebut turut mempengaruhi stabilitas tatanan adat yang telah berlangsung selama berabad-abad dan masih menjadi perbincangan hingga kini.
Sejumlah catatan sejarah menunjukkan bahwa Sitolu Hae Horbo, yang terdiri dari marga Sitanggang, Naibaho, dan Simbolon, telah memiliki sistem Dalihan Natolu yang mapan jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda.
Hingga saat ini tidak ditemukan wilayah adat di Pangururan yang dikenal sebagai Golat Munthe, yang dapat dijadikan dasar klaim hubungan genealogis dengan struktur marga induk di kawasan tersebut.
Ketiga marga itulah yang dikenal sebagai Raja Bius Pangururan, pusat pemerintahan adat di wilayah yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Samosir.
Penelusuran sejarah menunjukkan adanya praktik politik pecah belah pada masa pemerintahan kolonial yang memengaruhi pola pikir sebagian masyarakat hingga era modern.
Narasi sejarah tertentu bahkan dijadikan bahan perdebatan dan olok-olok di ruang publik digital.
Selain itu, perlu dicatat bahwa berbagai wilayah yang kini dikategorikan sebagai tanah pemerintah (kaminte) pada dasarnya merupakan tanah adat masyarakat Pangururan.
Pembangunan Monumen Sitolu Hae Horbo oleh pemerintah pusat dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan resmi atas eksistensi sistem sosial dan peradaban adat yang telah berkembang jauh sebelum kolonialisasi.
Pada periode kolonial, masyarakat lokal juga mengalami penderitaan akibat kerja paksa dalam pembangunan infrastruktur seperti Jalan Tele–Pangururan, Terusan Tano Ponggol, serta pengalihan aliran Sungai Binaga Sioto menuju Pea Raja.
Proyek yang berlangsung sejak awal 1900-an hingga dekade 1920 itu menelan banyak korban jiwa dan mengakibatkan hilangnya sejumlah perkampungan tua.
Kebijakan tersebut diikuti strategi memecah hubungan antarmarga yang berdampak panjang terhadap kohesi sosial masyarakat adat.
Penulis menilai pentingnya mengembalikan pemahaman sejarah secara utuh untuk mencegah terulangnya praktik adu domba dalam bentuk modern, termasuk melalui rekonstruksi tarombo yang tidak berdasar.
Sejarah, menurut penulis, seharusnya dijadikan landasan pembelajaran kolektif, bukan alat mempertajam perpecahan.
Catatan yang kerap disebut dalam diskusi publik menyebut bahwa H.M. Hutagalung, tokoh yang dikaitkan dengan dinamika tersebut, pernah menempati bangunan yang kini berfungsi sebagai rumah dinas Bupati Samosir dan diduga berperan dalam strategi kolonial memengaruhi struktur adat melalui legitimasi Dalihan Natolu dan penyusunan tarombo versi baru. [Bersambung]
Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]







