Oleh | Moses Pagabe Siallagan dan Zita Nadia Gultom [Mahasiswa Fakultas Hukum Unika Medan]PANTAI Lagundi, salah satu destinasi wisata yang dahulu dikenal akan pasir putih dan panorama Danau Toba dari ketinggian, kini hanya tinggal nama.
Terletak di Desa Sitamiang, Kecamatan Onanrunggu, Kabupaten Samosir, pesona Pantai zLagundi yang pernah memikat para pelancong kini memudar akibat minimnya penataan dan pengelolaan dari pihak terkait.
Padahal, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Nomor 3 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2018–2038, Pasal 41 Ayat (3) huruf d secara eksplisit menyebutkan bahwa pengembangan pariwisata alam, termasuk Pantai Lagundi, menjadi bagian dari prioritas pembangunan daerah. Namun, implementasi dari kebijakan tersebut dinilai belum terealisasi secara optimal.
Kondisi terkini menunjukkan bahwa kawasan wisata ini telah beralih fungsi menjadi area penggembalaan ternak, khususnya kerbau.
Selain tidak terawat, akses menuju lokasi juga tergolong sulit dijangkau, diperparah dengan minimnya promosi dan sosialisasi mengenai keberadaan objek wisata tersebut. Hal ini membuat Pantai Lagundi kehilangan daya tarik di mata wisatawan.
Permasalahan lain yang mencuat adalah buruknya sistem pengamanan kawasan pantai. Berdasarkan Pasal 21 Ayat (11) dan (12) dari Perda yang sama, pemerintah daerah seharusnya melaksanakan sistem pengamanan untuk mengurangi abrasi melalui penguatan tebing pantai.
Namun, di lapangan ditemukan fakta bahwa air danau meluap hingga ke daratan, bahkan masuk ke fasilitas umum seperti kamar mandi, yang memperburuk kondisi lingkungan sekitar pantai.
Minimnya perhatian dari Pemerintah Kabupaten Samosir menimbulkan pertanyaan terkait pengelolaan destinasi wisata secara menyeluruh.
Pengelolaan wisata seharusnya melibatkan proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Sayangnya, keempat unsur tersebut tampaknya belum dijalankan dengan semestinya dalam kasus Pantai Lagundi.
Kondisi ini menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah agar tidak hanya menjadikan regulasi sebagai dokumen formalitas, melainkan benar-benar diimplementasikan dalam bentuk aksi nyata demi menjaga dan mengembangkan potensi wisata yang dimiliki Kabupaten Samosir.
Pembangunan objek wisata Lagundi jalan di tempat
Pemerintah Kabupaten Samosir dinilai belum optimal dalam menjalankan perannya dalam pengelolaan dan pengembangan destinasi wisata, khususnya Pantai Lagundi.
Padahal, peran pemerintah dalam pembangunan daerah seharusnya berjalan secara terpadu melalui empat fungsi utama: sebagai fasilitator, regulator, motivator, dan dinamisator.
Sebagai fasilitator, pemerintah seharusnya menciptakan kondisi yang kondusif bagi pembangunan daerah, termasuk pariwisata, dengan menyediakan pelatihan, pendidikan, peningkatan keterampilan, serta dukungan pendanaan melalui bantuan modal kepada masyarakat.
Namun, pada kenyataannya, kawasan Pantai Lagundi justru mengalami degradasi fasilitas. Salah satu contohnya adalah kondisi kamar mandi umum yang tidak layak pakai akibat banjir dari air danau.
Fasilitas tersebut rusak berat, dengan lantai keramik yang terkelupas dan genangan air yang merusak kenyamanan pengunjung.
Selain itu, peran sebagai regulator yang semestinya dijalankan melalui penerbitan dan penegakan peraturan daerah, tampaknya belum dijalankan secara maksimal. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Samosir Tahun 2018–2038, masyarakat memiliki hak-hak penting dalam kegiatan penataan ruang, mulai dari hak atas informasi terbuka, hingga hak menggugat pembangunan yang melanggar rencana tata ruang.
Namun, pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan pembangunan di kawasan wisata, seperti Lagundi, masih minim.
Dalam kapasitasnya sebagai motivator, pemerintah juga diharapkan mampu menginspirasi dan mendorong keterlibatan aktif masyarakat serta pelaku wisata dalam pembangunan pariwisata daerah.
Sayangnya, tidak terlihat adanya program yang mampu membangkitkan partisipasi publik untuk memelihara dan mengelola Lagundi sebagai destinasi unggulan.
Terakhir, sebagai dinamisator, pemerintah semestinya menjadi penggerak terwujudnya sinergi antara masyarakat, pihak swasta, dan lembaga pemerintah sendiri.
Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance menuntut adanya kerjasama lintas sektor yang belum sepenuhnya terbentuk di Kabupaten Samosir dalam konteks pengembangan Pantai Lagundi.
Kerja sama yang kooperatif antara pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan agar pembangunan tidak hanya bertumpu pada aspek fisik semata, tetapi juga melibatkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Tanpa kehadiran nyata dan berkesinambungan dari pemerintah dalam empat peran strategis tersebut, maka pembangunan kawasan wisata seperti Pantai Lagundi akan terus tertinggal dan kehilangan potensi ekonominya bagi daerah.
Pantai Lagundi terabaikan, fasilitas rusak meski pernah dibangun
Pemerintah Kabupaten Samosir melalui Bupati Vandiko T. Gultom sempat melakukan monitoring penataan kawasan wisata Pantai Lagundi pada tahun 2023.
Saat itu, sejumlah fasilitas fisik dibangun guna mendukung pengembangan destinasi wisata tersebut, antara lain lansekap daya tarik wisata (DTW) Pantai Lagundi, jalur pejalan kaki, area parkir, tempat ibadah, toilet, kios kuliner, panggung kesenian, lampu taman, plaza kuliner, gazebo, dermaga, papan penunjuk arah, dan pusat informasi.
Namun, berdasarkan pantauan terkini di lapangan, banyak dari fasilitas tersebut kini dalam kondisi rusak, tak terawat, dan tidak layak pakai.
Kerusakan tersebut disebabkan oleh faktor alam, seperti banjir dan meluapnya air Danau Toba, serta gangguan dari hewan liar yang masuk ke kawasan wisata dan merusak infrastruktur.
Ironisnya, meskipun pembangunan telah dimulai dan dana telah digelontorkan, kelanjutan perawatan dan pengelolaan kawasan ini tampaknya terhenti.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keseriusan Pemerintah Kabupaten Samosir dalam mengembangkan potensi pariwisata daerah secara berkelanjutan.
Padahal, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Nomor 3 Tahun 2018 Pasal 66 disebutkan bahwa pengembangan kawasan pariwisata harus mencakup lima aspek utama: perencanaan pengembangan pariwisata, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan infrastruktur pendukung, pengembangan objek wisata, serta promosi dan pemasaran destinasi.
Hingga pertengahan 2025, belum terlihat langkah signifikan dari Pemkab Samosir untuk memperbaiki atau merevitalisasi Pantai Lagundi.
Hal ini berdampak pada menurunnya minat wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, untuk berkunjung ke kawasan tersebut.
Sejatinya, masyarakat memiliki hak untuk menuntut perbaikan terhadap objek wisata yang terbengkalai. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam perda, yang menjamin partisipasi publik dalam pembangunan daerah, termasuk dalam penataan ruang dan sektor pariwisata.
Rekomendasi untuk Pemerintah Daerah
Agar Pantai Lagundi kembali menarik minat wisatawan, Pemerintah Kabupaten Samosir perlu mengambil langkah konkret dalam pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas yang telah dibangun.
Selain itu, promosi dan sosialisasi mengenai potensi wisata Lagundi perlu digencarkan, baik di tingkat lokal, nasional, mau pun internasional.
Pantai Lagundi ibarat berlian yang tersembunyi di bawah karang—memiliki potensi besar untuk menjadi ikon pariwisata baru di Danau Toba. Dengan pengelolaan yang tepat, kawasan ini dapat berkontribusi dalam mewujudkan visi Kabupaten Samosir sebagai Negeri Indah Kepingan Surga.
Penulis, Moses Pagabe Siallagan dari Kota Pematangsiantar dan Zita Nadia Gultom dari Onan Runggu.