Oleh: Muhammad Hanafiah, S.Pd, M.Pd.
CITA-CITA pendidikan dan realita yang mengkhawatirkan, setiap bel pagi yang berbunyi di gerbang sekolah, semua murid bergegas dengan membawa sejuta harapan.
Harapan para orangtua yang mengantar anak-anak mereka untuk menimba ilmu, harapan para guru untuk mencetak generasi penerus yang cerdas dan berakhlak, serta harapan para siswa itu sendiri untuk meraih cita-cita.
Pendidikan, pada hakikatnya, adalah proses memanusiakan manusia—sebuah proses yang seharusnya berlangsung dalam suasana yang mendukung, aman, dan nyaman.
Namun, di tengah idealisme tersebut, sebuah monster mengerikan bernama perundungan (bullying) terus mengintai di lorong-lorong sekolah kita, merenggut rasa aman dan mengubah ruang belajar menjadi arena ketakutan.
Ironisnya, seringkali kita hanya fokus pada pencapaian akademis—nilai ujian, peringkat kelas, dan kelulusan—tanpa menyadari bahwa fondasi dari semua itu adalah kesehatan mental dan rasa nyaman siswa.
Bagaimana mungkin seorang anak bisa menyerap rumus fisika atau menganalisis puisi jika hatinya diliputi kecemasan? Bagaimana ia bisa berprestasi jika setiap langkahnya di sekolah diiringi oleh bayang-bayang intimidasi?
Tulisan ini bukanlah sekadar gugatan, melainkan sebuah ajakan untuk merefleksikan kembali peran fundamental “kenyamanan” sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan, dengan menyoroti data kelam perundungan di Indonesia dan mengevaluasi paradigma mengajar yang mungkin tanpa sadar turut melanggengkannya.
Potret buram pendidikan kita—darurat perundungan di sekolah
Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus berani menatap cermin dan mengakui bahwa ada masalah serius dalam sistem pendidikan kita. Angka-angka tidak pernah berbohong.
Data dari berbagai lembaga kredibel melukiskan gambaran yang suram dan mendesak untuk segera ditangani.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjadi saksi bisu dari ribuan rintihan anak-anak korban kekerasan.
Pada tahun 2023 saja, KPAI menerima 3.800 aduan terkait perundungan.
Memasuki awal tahun 2024, alarm bahaya semakin nyaring berbunyi dengan 141 kasus kekerasan yang dilaporkan, di mana 35% di antaranya terjadi di lingkungan sekolah.
Ini bukan sekadar statistik; ini adalah 141 cerita tentang mimpi yang terancam padam.
Data yang lebih mengejutkan datang dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang mencatat lonjakan kasus kekerasan dan perundungan di lingkungan pendidikan menjadi 573 kasus pada tahun 2024.
Angka ini menunjukkan eskalasi yang mengkhawatirkan dan menandakan bahwa sekolah belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) turut memberikan perspektif yang lebih detail, di mana pada tahun 2023, jenjang SMP menjadi arena perundungan tertinggi (50%), diikuti oleh SD (23%), serta SMA dan SMK (masing-masing 13,5%).
Dampak dari perundungan ini jauh lebih dalam dari sekadar luka fisik. Ia merobek kepercayaan diri, menanamkan trauma, dan memicu masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.
Secara akademis, korban perundungan seringkali mengalami penurunan konsentrasi, kehilangan motivasi belajar, dan akhirnya prestasi yang anjlok.
Dalam kasus-kasus paling tragis, perundungan bahkan merenggut nyawa, mendorong korban ke jurang keputusasaan hingga melakukan bunuh diri.
Ini adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi di tempat yang seharusnya menjadi pusat peradaban dan kasih sayang. Ketika sekolah gagal memberikan rasa aman, ia telah gagal dalam misi paling dasarnya.
Menggugat paradigma lama, apakah cara kita mengajar salah?
Melihat data yang mengerikan tersebut, kita tidak bisa hanya menyalahkan individu siswa.
Kita harus melakukan introspeksi yang lebih dalam: adakah yang salah dengan sistem dan budaya yang kita bangun di sekolah?
Salah satu akar masalah yang sering luput dari perhatian adalah paradigma lama dalam mengajar.
Paradigma lama ini bercirikan pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centered).
Dalam model ini, guru adalah sumber pengetahuan tunggal, pemilik otoritas absolut di dalam kelas.
Komunikasi berjalan satu arah: guru menerangkan, murid mendengarkan, mencatat, dan menghafal.
Disiplin seringkali ditegakkan dengan cara-cara yang kaku, bahkan tidak jarang dengan hukuman yang mempermalukan siswa di depan teman-temannya.
Tujuannya mungkin baik, yaitu untuk menciptakan ketertiban. Namun, dampak jangka panjangnya bisa sangat merusak.
Ciri-ciri paradigma lama yang perlu kita evaluasi:
Otoritarianisme di kelas: Guru dipandang sebagai figur yang “maha tahu” dan tidak boleh dibantah.
Suasana kelas menjadi tegang, dan siswa takut untuk bertanya atau mengungkapkan pendapat yang berbeda.
Iklim semacam ini secara tidak langsung mengajarkan bahwa kekuatan dan senioritas adalah segalanya—sebuah bibit dari perilaku perundungan.
Fokus pada kognitif, abai pada afektif:
Sistem ini terlalu terpaku pada transfer pengetahuan (kognitif) dan seringkali mengabaikan perkembangan emosional dan sosial (afektif) siswa.
Empati, kerja sama, dan kecerdasan emosional tidak mendapatkan porsi yang cukup dalam kurikulum “tersembunyi” di kelas.
Kompetisi yang tidak sehat:
Sistem peringkat dan perbandingan antar-siswa yang terus-menerus dapat menciptakan lingkungan yang kompetitif secara negatif.
Siswa yang dianggap “kurang pintar” menjadi sasaran empuk ejekan, sementara yang “pintar” bisa menjadi arogan.
Ketidakpedulian Terselubung: Karena fokus utama guru adalah menyelesaikan materi pelajaran, masalah-masalah personal siswa seperti kesedihan, kecemasan, atau konflik sosial seringkali dianggap sebagai “gangguan”.
Guru mungkin melihat tanda-tanda perundungan—seperti seorang siswa yang menyendiri atau diejek—tetapi mengabaikannya karena menganggap itu “hanya candaan anak-anak”.
Lingkungan yang diciptakan oleh paradigma ini adalah lahan subur bagi perundungan. Ketika hierarki kekuasaan (guru di atas murid) begitu kental, siswa akan menirunya dalam interaksi mereka (senior menindas junior, yang kuat menindas yang lemah).
Ketika empati tidak diajarkan dan dihargai, maka kekerasan verbal dan fisik menjadi hal yang dianggap wajar. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang hangat dan inklusif berubah menjadi miniatur hutan rimba di mana hukum “siapa kuat dia berkuasa” berlaku.
Membangun Oase Kenyamanan sebagai Solusi Holistik
Jika paradigma lama adalah bagian dari masalah, maka paradigma baru yang berpusat pada kenyamanan adalah solusinya.
Kenyamanan di sini bukan berarti memanjakan siswa atau menghilangkan tantangan akademis. Kenyamanan adalah kondisi psikologis dan sosial di mana setiap siswa merasa aman, diterima, dihargai, dan didukung untuk mencapai potensi terbaiknya.
Inilah fondasi sejati dari keberhasilan pendidikan.
Pergeseran menuju sekolah yang nyaman menuntut perubahan fundamental dari teacher-centered menjadi student-centered.
Guru tidak lagi bertindak sebagai diktator ilmu, melainkan sebagai fasilitator, mentor, dan pendamping belajar.
Pilar-pilar untuk Membangun Sekolah yang Nyaman:
Menciptakan Iklim Sekolah yang Positif: Ini adalah tugas kolektif seluruh warga sekolah. Hubungan antara guru dan siswa harus didasari oleh rasa saling percaya dan hormat.
Siswa harus merasa bahwa mereka memiliki orang dewasa di sekolah yang bisa mereka andalkan ketika menghadapi masalah.
Kebijakan “zero tolerance” terhadap perundungan harus ditegakkan secara konsisten, bukan hanya menjadi slogan di spanduk.
Pembelajaran yang berpusat pada Siswa:
Metode pembelajaran harus beralih ke arah diskusi, kerja kelompok, proyek kolaboratif, dan pemecahan masalah.
Pendekatan ini tidak hanya membuat belajar lebih menarik, tetapi juga secara aktif melatih keterampilan sosial siswa, seperti komunikasi, empati, negosiasi, dan menghargai perbedaan pendapat. Siswa yang terbiasa bekerja sama akan lebih sulit untuk saling merundung.
Mengintegrasikan Pendidikan Karakter dan Emosional:
Empati bukanlah sesuatu yang datang secara otomatis, ia harus diajarkan dan dilatih. Sekolah perlu secara eksplisit mengajarkan siswa tentang cara mengenali dan mengelola emosi, memahami perspektif orang lain, dan membangun hubungan yang sehat.
Ini bisa diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang ada atau melalui program-program khusus.
Membuka Kanal Pelaporan yang Aman:
Seringkali korban perundungan diam karena takut akan balasan atau tidak percaya bahwa laporannya akan ditanggapi dengan serius.
Sekolah harus menyediakan berbagai kanal pelaporan yang aman dan rahasia—baik melalui guru BK, wali kelas, atau bahkan kotak aduan anonim—dan yang terpenting, setiap laporan harus ditindaklanjuti dengan cepat dan adil.
Ketika pilar-pilar ini ditegakkan, sekolah akan bertransformasi. Kelas yang tadinya tegang menjadi ruang diskusi yang hidup. Lorong sekolah yang tadinya menjadi arena intimidasi berubah menjadi tempat interaksi sosial yang positif.
Siswa tidak lagi datang ke sekolah dengan rasa takut, tetapi dengan antusiasme untuk belajar dan bertemu teman-temannya. Dalam kondisi inilah, prestasi akademis akan mengikuti secara alami.
Siswa yang bahagia dan merasa aman adalah siswa yang siap untuk belajar dan berprestasi.
Membangun sekolah nyaman
Sebagai pendidik, kita berada di garda terdepan untuk mewujudkan perubahan ini. Kita memiliki kesempatan emas untuk tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga menjadi arsitek lingkungan belajar yang positif.
Mari kita mulai dari ruang-ruang kelas kita. Mari kita tinggalkan paradigma lama yang kaku dan otoriter.
Mari kita rangkul setiap siswa dengan segala keunikan mereka, dengarkan suara mereka, dan bangun hubungan yang didasari oleh empati.
Beberapa sekolah di Indonesia telah membuktikan bahwa perubahan ini mungkin. SMA Negeri 1 Surakarta dan SMA Negeri 8 Manado, misalnya, telah berhasil mengimplementasikan program anti-perundungan yang komprehensif, membentuk agen perubahan dari kalangan siswa, dan menciptakan budaya sekolah yang lebih inklusif.
Mereka adalah bukti bahwa dengan komitmen dan kerja sama, sekolah bisa menjadi surga kecil yang aman dan nyaman.
Judul “Kenyamanan, Kunci Keberhasilan Pendidikan” bukanlah sekadar utopia. Ia adalah sebuah visi yang bisa dan harus kita wujudkan, dimulai dari insan-insan pendidik di semua sekolah.
Karena pada akhirnya, warisan terbaik yang bisa kita berikan kepada generasi mendatang bukanlah setumpuk ijazah dengan nilai tinggi, melainkan kenangan indah tentang sebuah sekolah yang aman, sebuah tempat di mana mereka merasa dihargai, dan sebuah komunitas yang mengajarkan mereka arti sejati dari kemanusiaan.
Mari bersama-sama kita pastikan bahwa setiap siswa yang melangkah keluar dari gerbang sekolah tidak hanya membawa ilmu di kepala, tetapi juga membawa rasa nyaman dan percaya diri.
Penulis, Muhammad Hanafiah S.Pd. M.Pd, Guru SMA Negeri 7 Banda Aceh, dan Pengamat Pendidikan Aceh





