Oleh | Hatoguan Sitanggang
TAMBAK Paromasan merupakan salah satu situs sejarah dan cagar budaya yang terletak di antara Desa Lumban Pinggol, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir.
Kawasan ini memiliki nilai sakral yang sangat tinggi bagi tiga marga besar Sitanggang, Naibaho, dan Simbolon, yang sejak dahulu kala membentuk pranata sosial adat Dalihan Na Tolu dan menetap di wilayah Pangururan.
Asal usul Paromasan
Pada masa para leluhur ketiga marga besar itu, Paromasan dibangun sebagai tempat penyimpanan tulang belulang (patakkok saring-saring) nenek moyang Sitanggang, Naibaho, dan Simbolon.
Tempat ini berfungsi sebagai lokasi pemakaman adat istimewa, yang diperlakukan dengan penuh penghormatan dalam tradisi horja bius.
Sebelum pelaksanaan horja bius, ketiga marga besar memiliki struktur sohe atau pembagian marga sebagai berikut: Tanjabau, Pangadatan, Pangulu Oloan, Malau Pase, Naibaho (Naibaho Sitakkaren, Naibaho Siahaan, Naibaho Hutaparik, Naibaho Sidauruk dan Panturi, serta Naibaho Siagian), Simbolon (Simbolon Pande, Simbolon Tuan, Tamba, Nadeak Simarmata, Saeng, dan Silalahi).
Dari keseluruhan pembagian tersebut, terdapat 13 tupuk atau perangkat adat yang mewakili marga-marga dalam setiap pelaksanaan horja bius.
Tradisi Horja Bius yang telah berjalan ratusan tahun
Menurut rekam jejak Belanda sekitar tahun 1904, wilayah Samosir pernah memiliki 146 bius, dan Pangururan dikenal sebagai Inang ni Bius, pusat bius terbesar di kawasan tersebut.
Tradisi horja bius di Pangururan dipercaya telah berlangsung sejak sekitar 800 tahun yang lalu, jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda membuat registrasi tersebut.
Dalam upacara adat besar itu, sering dilakukan pemotongan kerbau sitikko tanduk sebagai persembahan (borotan) ketika mengadakan upacara patakkok saring-saring untuk menghormati tulang belulang para leluhur.
Adapun lokasi Paromasan berada di Digolat Sitanggang, tanah yang dahulu telah diserahkan secara resmi kepada komunitas Sitolu Hae Horbo oleh Raja Sitempang.
Fenomena penggarap yang merusak situs
Saat ini, kondisi Paromasan sangat memprihatinkan. Banyak masyarakat lokal yang menganggap lahan tersebut “tidak bertuan,” sehingga mulai menggarapnya menjadi ladang.
Ironisnya, aktivitas penggarapan ini sering kali mencangkul tulang belulang nenek moyang, suatu tindakan yang dalam adat Batak merupakan pelanggaran berat.
Dahulu, masyarakat yang memanfaatkan lahan Paromasan untuk bercocok tanam wajib mematuhi aturan adat:
Jika tanpa sengaja mencangkul tulang belulang, mereka harus membayar seekor babi kecil untuk disembelih dan dimakan bersama penduduk kampung.
Saat ini, norma tersebut tidak lagi dihormati.
Diperkirakan, sekitar 90% area seluas kurang lebih 15 hektar yang berada di bawah atau di samping perkampungan Dusun Siantar-antar (Huta Siantar-antar) kini telah dikuasai oleh para penggarap.
Tindakan ini mengakibatkan kerusakan serius terhadap situs budaya yang seharusnya dijaga sebagai warisan leluhur Sitolu Hae Horbo.
Seruan untuk melindungi cagar budaya
Paromasan telah terdaftar sebagai cagar budaya resmi Kabupaten Samosir, sehingga kerusakan dan penguasaan sepihak terhadap kawasan ini tidak boleh dibiarkan.
Penggarap-penggarap yang tidak bertanggung jawab telah: merusak situs peninggalan leluhur, mencederai nilai adat dan sejarah, mengabaikan norma adat Dalihan Na Tolu, serta berpotensi menghilangkan jejak budaya ratusan tahun.
Oleh karena itu, penulis menyerukan kepada seluruh keturunan Sitanggang, Naibaho, dan Simbolon—komunitas Sitolu Hae Horbo—untuk merapatkan barisan, bersatu menjaga, melindungi, dan menyelamatkan situs Paromasan dari kerusakan lebih lanjut.
Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]






