Oleh: DR. Nursanjaya Abdullah
SETIAP kali kita membuka lembaran sejarah negeri ini, selalu ada luka yang menganga di antara barisan perjuangan dan pengorbanan.
Bukan semata karena peluru penjajah yang menembus dada para pahlawan, tetapi karena tikaman dari belakang — dari anak bangsa sendiri yang menjual kehormatan dan tanah airnya demi tahta, harta, atau rasa takut kehilangan kekuasaan.
Sejarah Indonesia penuh dengan kisah semacam itu. Pangeran Diponegoro dikhianati oleh bangsanya sendiri hingga ditangkap di Magelang.
Sultan Hasanuddin, yang dijuluki “Ayam Jantan dari Timur”, tumbang karena pengkhianatan bangsawan lokal yang lebih memilih berdamai dengan VOC.
Di tanah Minangkabau, Perang Padri yang sejatinya hendak menegakkan nilai-nilai agama dan menentang kolonialisme justru retak karena perpecahan antar sesama pribumi.
Di Aceh, kisah kepahlawanan Teungku Chik di Tiro dan Cut Nyak Dhien juga menyimpan luka karena pengkhianatan.
Kedua tokoh ini menjadi simbol perlawanan gigih terhadap kolonialisme Belanda.
Namun perjuangan mereka tidak hanya diuji oleh kekuatan asing, melainkan juga oleh dinamika internal: ada tokoh-tokoh lokal dan kepentingan elite yang, karena alasan politik, ekonomi, atau pragmatisme, memilih bernegosiasi atau berkompromi dengan penjajah.
Pilihan-pilihan internal semacam itu melemahkan jaringan perlawanan, memecah solidaritas, dan memberi kesempatan bagi kekuatan luar untuk mengeksploitasi celah-celah itu.
Akibatnya, perjuangan heroik tetap berjalan, tetapi terbagi, dan kemenangan sulit diraih bila dukungan satu bangsa itu sendiri goyah.
Bahkan setelah proklamasi kemerdekaan, aroma pengkhianatan tak hilang. Ketika sebagian anak bangsa berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan darah dan air mata, sebagian lain memilih berkompromi dengan penjajah atau kemudian menukarkan amanah publik dengan keuntungan pribadi.
Dalam bab-bab kelam pasca-kemerdekaan, pengkhianatan juga menjelma dalam bentuk baru: korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral yang menjadi dasar berdirinya republik ini.
Refleksi semacam ini bukanlah untuk menebar kebencian, melainkan untuk mengingatkan: ancaman terbesar kerap berasal dari dalam — dari mereka yang lupa amanah dan mudah tergoda oleh keuntungan sesaat.
Sekali loyalitas itu terkikis, perjuangan yang paling suci pun bisa runtuh bukan karena keunggulan musuh, melainkan karena retak di dalam barisan sendiri.
Kita yang hidup sekarang memikul tanggung jawab untuk menjaga sejarah agar tak berulang dalam bentuk baru. Mengenang Teungku Chik di Tiro, Cut Nyak Dhien, Diponegoro, dan para pahlawan lain bukan sekadar upacara simbolis; itu adalah panggilan agar kita menegakkan integritas, menolak korupsi, menumbuhkan keberanian moral, dan membangun solidaritas yang melampaui kepentingan sempit.
Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang sedikit pengkhianatnya — dan yang paling berat bagi kita adalah mencegah menjadi bagian dari mereka yang suatu hari akan menuliskan nama kita dalam lembaran pengkhianatan.
Penulis, DR. Nursanjaya Abdullah, adalah Dosen UNIMAL Lho’ Seumawe.








