Oleh | Hatoguan Sitanggang
SELAIN Huta Hariara Sigurdung, Kabupaten Samosir juga menyimpan peninggalan bersejarah lain yang tak kalah penting, yakni Situs Paromasan. Terletak di Dusun Siantar-siantar, Desa Lumban Pinggol, Kecamatan Pangururan, situs ini diyakini telah berdiri jauh sebelum masa penjajahan Belanda, dengan usia yang diperkirakan mencapai ratusan tahun.
Situs Paromasan menjadi saksi bisu kejayaan Raja Sitempang, sosok pemimpin yang dikenal arif, bijaksana, dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan antarmarga.
Dalam catatan sejarah lisan masyarakat setempat, Raja Sitempang pernah memberikan sebagian wilayah tanah golat kepada Sitolu Hae Horbo atau Raja Natolu — tiga pemimpin utama yang menaungi dua belas harajaon (kerajaan kecil) dan tiga belas panturi (pemimpin doa) yang berperan penting dalam setiap pelaksanaan Horja Bius atau pesta adat besar.
Warisan Adat dan Spiritualitas
Horja Bius merupakan tradisi sakral masyarakat Batak di masa lampau.
Upacara tahunan ini digelar setiap bulan ketujuh hingga kedelapan setelah panen, sebagai bentuk rasa syukur kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) atas rezeki dan hasil bumi yang melimpah.
Dalam tradisi tersebut, Raja Sitempang memimpin upacara utama yang disebut Mangalahat Horbo — persembahan seekor kerbau yang disembelih di tempat suci berbentuk segitiga bernama Sitolu Hae Horbo, yang kini diyakini berada di sekitar lokasi Polsek Pangururan.
Ritual ini tidak hanya dimaknai sebagai persembahan spiritual, tetapi juga sebagai simbol persatuan, keharmonisan, dan kesejahteraan rakyat di bawah kepemimpinan raja.
Paromasan: Simbol Perjalanan Jiwa Leluhur
Sayangnya, nilai sejarah dan spiritual yang terkandung di dalam situs ini mulai memudar di kalangan generasi muda.
Padahal, Situs Paromasan dan tradisi Horja Bius merupakan bagian penting dari warisan budaya Batak yang mencerminkan tingginya peradaban, sistem sosial, dan nilai religius masyarakat di masa lalu.
Situs Paromasan sendiri menyimpan makna mendalam terkait penghormatan terhadap arwah leluhur.
Berdasarkan tradisi, ketika raja atau tokoh adat meninggal dunia, masyarakat akan melaksanakan upacara Mangali Holi — menggali kembali tulang-belulang leluhur untuk dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi dan dianggap suci, yaitu Paromasan.
Ritual ini melambangkan perjalanan spiritual arwah menuju tiga lapisan dunia dalam kepercayaan Batak, yakni Banua Toru (dunia bawah), Banua Tonga (dunia tengah), dan Banua Ginjang (dunia atas) — tempat bersemayamnya Mulajadi Nabolon.
Warisan yang Patut Dilestarikan
Dengan nilai sejarah dan spiritualitas yang begitu kaya, Paromasan bukan sekadar makam, melainkan simbol perjalanan manusia menuju kesempurnaan dan lambang penghormatan tertinggi kepada leluhur.
Situs ini menjadi bukti betapa luhur dan mendalamnya nilai-nilai budaya Batak, yang patut dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang sebagai bagian dari jati diri bangsa.
Penulis, Hatoguan Sitanggang adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]







