Oleh | Sutrisno Pangaribuan
BELUM lama berselang, negara kita merayakan hari ulang tahun (HUT) ke- 80. Setelah upacara, dilanjutkan dengan berbagai perlombaan, dari lomba makan kerupuk, hingga panjat pinang.
Untuk pertama kali dalam sejarah, Senin (18/8/2025) ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Presiden Prabowo menetapkannya sebagai hari libur agar warga negara dapat beristirahat setelah lelah ikuti perayaan.
Dalam pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2024 yang lalu, Prabowo dan timnya sering merespon berbagai hal dengan “jogetin aja”. Maka DPR pasca sidang tahunan, berjoget di senayan, seperti sedang merayakan kemewahan tanpa empati.
Rakyat pun marah, meski 10 tahun lamanya, Iriana Jokowi pun selalu ikut berjoget di istana, setelah suaminya bagi- bagi sepeda.
Senayan akhirnya sasaran amarah rakyat sebab dianggap tidak peka atas derita rakyat. Pemerintah kewalahan menghadapi kemarahan mahasiswa, buruh, dan rakyat.
Saat aksi mahasiswa bersama rakyat di senayan, pengemudi sepeda motor online digilas kendaraan taktis polisi hingga mati. Para pejabat berbondong- bondong memberi hadiah dan janji, dari rumah hingga sepeda motor.
Pemerintah sepertinya lupa, bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta. Ada anak-anak bangsa lainnya yang harus mati, meregang nyawa dibakar api.
Apa salah mereka hingga harus dibakar sadis oleh saudara sendiri? Pemerintah gagal melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Siapa yang akan memberi rumah, sepeda motor bagi mereka?
Kematian pengemudi ojek online menampar wajah pemerintah yang tidak mampu menciptakan lapangan kerja. Jutaan warga negara menjadikan jalan raya sebagai lapangan kerja, yakni sopir: truk, bus, taksi, mobil pribadi, mobil rental, mobil dan sepeda motor online, pengantar makanan dan semua orang yang bekeria di sektor transportasi. Para pekerja di saling berebut, padahal jalan pada hakikatnya bukan lapangan kerja.
Jalan raya tidak pernah dirancang untuk menjadi lapangan pekerjaan, namun kini jutaan warga negara Indonesia mencari sesuap nasi di jalan.
Akibatnya kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Meski demikian pemerintah tidak pernah berdaya mengatur sistem transportasi publik sehingga aksi protes para sopir kerap terjadi.
Pemerintah gagal mengantisipasi gejolak sosial yang membuat Indonesia terbakar dan berdarah. Pemerintah reaktif seperti pemadam kebakaran.
Perangkat intelijen negara, baik TNI, Polri, dan sipil tidak mampu melacak pergerakan rakyat, atau informasi intelijennya tidak digunakan. Akhirnya korban jiwa berjatuhan, dibunuh sesama anak bangsa sendiri.
Pemerintah yang proaktif bukan berlomba memberi sepedamotor dan rumah. Tetapi segera membuka lapangan kerja baru selain jalan raya.
Pemerintah yang proaktif bukan yang rajin minta maaf, tetapi yang mampu memperkirakan setiap aspirasi dan pergerakan rakyatnya.
Pemerintah yang proaktif bukan bagi- bagi sembako, tetapi meningkatkan daya beli masyarakat.
Pemerintah yang proaktif bukan yang berlomba membuat pertemuan eksklusif dengan perwakilan ojek online.
Pemerintah yang proaktif pasti mampu mengantisipasi setiap dinamika yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah yang proaktif mampu menjamin keamanan dan ketertiban rakyatnya.
Selasa, 2 September 2025
Sutrisno Pangaribuan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas),Presidium Pergerakan Rakyat Indonesia Makmur Adil (Prima)