Oleh | Hatoguan Sitanggang
PROSES registrasi 147 bius yang dilakukan Asisten Demang W.M. Hutagalung di Samosir pada 1904–1905 membawa dampak besar dalam dinamika sosial dan pemerintahan masyarakat Pangururan.
Pendataan tersebut menghasilkan buku registrasi bius yang menjadi dasar perubahan struktur sosial yang sebelumnya berjalan dengan sistem Dalihan Na Tolu.
Masuknya administrasi kolonial Belanda memicu kekhawatiran para raja huta. Banyak yang memilih mengungsi dan melakukan perlawanan ketimbang tunduk kepada otoritas Belanda.
Kekosongan sejumlah permukiman pada masa itu menyebabkan pendataan lanjutan menjadi tidak akurat, terutama saat pemerintah kolonial menerbitkan buku Bisoloit antara tahun 1907 hingga 1920.
Secara positif, pendataan Belanda menjadi fondasi awal sistem pemerintahan modern di wilayah tersebut.
Belanda memperkenalkan sistem hukum perdata dan pidana, serta menerapkan kewajiban pajak sebagai bagian dari pembangunan, termasuk pendirian sekolah rakyat yang meningkatkan kemampuan baca-tulis masyarakat.
Namun, di sisi lain, penerbitan Bisoloit memunculkan persoalan struktural yang masih dirasakan hingga kini.
Banyak pemilik huta atau raja yang justru kehilangan hak atas wilayahnya karena nama yang tercatat dalam Bisoloit sering kali bukan pemilik asli, melainkan perwakilan yang hadir menghadap administratur Belanda.
Kondisi ini menyebabkan sejumlah raja adat berubah status menjadi seperti pendatang di tanahnya sendiri.
Selain itu, praktik penguasaan tanah oleh pemerintah kolonial menimbulkan jejak permasalahan pertanahan yang berkepanjangan.
Di Pangururan, misalnya, banyak tanah peninggalan kolonial yang hingga kini menjadi sumber sengketa perdata antar keturunan.
Persoalan tersebut diperparah dengan munculnya tarombo baru yang disusun sekitar 1920 oleh H.W. Hutagalung, yang dinilai menghilangkan catatan silsilah Raja Sitempang, salah satu pendiri perkampungan tua di Huta Hariara Sigurdung.
Keberadaan Pohon Hariara dan kawasan Tanah Harajaon di Desa Pardoamuan I menjadi bukti sejarah atas keberlanjutan penguasaan wilayah tersebut oleh keturunan Raja Sitempang.
Warisan kolonial ini terus memengaruhi kehidupan sosial dan hukum masyarakat Pangururan hingga saat ini, terutama terkait identitas genealogis dan hak atas tanah adat. [Bersambung]
Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]
Keterangan foto
Lokasi tanah kaminte di kota Pangururan ibukota Kabupaten Samosir






