Oleh | Sutrisno Pangaribuan
JIKA Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pro aktif, maka jatuhnya 10 orang korban meninggal dunia dan ratusan orang luka berat dan ringan, pada aksi massa (25-31 Agustus 2025), dapat dihindari.
Sebab Kemendagri memiliki perangkat hingga lingkungan dan dusun, sedang Polri memiliki bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (Bhabinkamtibmas) dan satuan intelkam di desa/kelurahan. Pemerintah memiliki perangkat lengkap untuk mengantisipasi setiap dinamika di tengah masyarakat.
Selain Kemendagri dan Polri, Pemerintah juga memiliki Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), serta Komponen Cadangan (Komcad).
Pemerintah memiliki perangkat lengkap yang jika bekerja dan loyal kepada Presiden Prabowo Subianto pasti tidak akan jatuh korban jiwa dan luka berat dan ringan. Maka Presiden Prabowo dapat meminta pertanggungjawaban dari Kapolri, Mendagri, Kepala BIN, Kepala BAIS, Kepala BSSN, dan Menkomdigi.
Seharusnya pemerintah khususnya Kemendagri dan Polri sudah dapat mengantisipasi gejolak sejak aksi unjuk rasa rakyat di Kabupaten Pati Jawa Tengah (10-13 Agustus 2025).
Aksi terbesar dalam sejarah Pati tersebut diikuti lebih dari 100.000 orang massa. Reaksi rakyat Pati yang semula terjadi karena naiknya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%, kemudian diikuti tuntutan pemakzulan bupati Sudewo.
Meskipun demikian, pemerintah tetap santai, padahal Kemendagri telah mengeluarkan data per (15/8/2025) terdapat 125 daerah yang menaikkan PBB-P2.
Selain di Pati, aksi protes atas naiknya (PBB-P2) juga terjadi di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Kabupaten Semarang Jawa Tengah, dan Kabupaten Jombang Jawa Timur.
Rakyat biasa yang selalu menghindari aksi demonstrasi, justru turun ke jalan, protes kepada kebijakan kepala daerah yang dipilihnya. Kemendagri dan Polri abai terhadap gejolak rakyat yang dimulai dari Pati, Jawa Tengah.
Kemendagri yang memiliki jaringan intelijen di badan kesatuan bangsa dan politik (Bakesbangpol) setiap Pemda, dan satuan Intelkam Polri tidak bekerja atau hasil kerjanya diabaikan.
Maka aksi mahasiswa, buruh, dan rakyat yang belajar dari rakyat Pati pun tumpah pasca pengumuman uang pengganti rumah dinas anggota DPR. Aksi “jogetin aja” dari sejumlah anggota DPR pun semakin melengkapi kemarahan massa.
Ironisnya, pemerintah tidak serius mengendalikan aksi massa hingga mengakibatkan 10 orang meninggal, ratusan massa mengalami luka berat dan ringan, dan diduga masih ada massa yang hilang. Komnas Ham menyebut sejumlah massa mengalami tindakan kekerasan ringan dan berat yang diduga dilakukan aparat Polr
Pemerintah tidak berhasil meredam aksi massa yang mendatangi rumah sejumlah pejabat negara. Pemerintah gagal melindungi rumah Nafa Urbach, Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Sri Mulyani.
Massa leluasa mengambil apapun dari rumah para pejabat negara tersebut, sebagian dibawa pulang. Massa meluapkan kemarahan tanpa kehadiran negara, memberi pelajaran mahal kepada pemerintah. Sesaat negara tanpa hukum, tanpa ada kekuasaan yang mengatur dan menghukum.
Atas ketidakmampuan Kapolri, Mendagri, Kepala BIN, dan alat negara lainnya untuk mengantisipasi berbagai dinamika sosial rakyat dari Pati ke Jakarta dan menjalar ke seluruh Indonesia, maka Kapolri dan Mendagri secara gentelemen harus mundur.
Jika tidak mundur, maka Presiden Prabowo diminta memberhentikannya. Secara khusus Kapolri dan Mendagri yang sudah terlalu lama berada dalam jabatan yang sama menimbulkan stagnasi program dan regenerasi. Listyo Sigit Prabowo dan Tito Karnavian dapat diberi tugas baru mengurus makanan bergizi gratis atau duta besar.
Pemerintah secara resmi menyatakan bahwa biaya kerusakan fasilitas umum/ pemerintah sebesar Rp 950 miliar. Jumlah tersebut tidak termasuk biaya perobatan para korban kekerasan selama aksi yang akan ditanggung pemerintah.
Belum lagi biaya operasional aparat dalam rangka pengamanan aksi. Maka terlalu besar anggaran negara yang terbuang percuma karena ketidakmampuan deteksi dini aksi massa dan potensi kericuhan yang timbul.
Maka Presiden Prabowo harus meminta tanggung jawab dari anak buahnya atas kerugian negara tersebut.
Keberanian Presiden Prabowo dibutuhkan oleh negara ini seperti keberanian Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) mengambil alih perkebunan sawit rakyat dan korporasi tanpa putusan pengadilan.
Jika Komandan Satgas PKH saja berani melakukan pengambilalihan lahan sawit rakyat dan korporasi, mengapa Presiden Prabowo tidak berani memberhentikan Listyo dan Tito? Pemberhentian keduanya sebagai bab pendahuluan bagi buku baru kepemimpinan Presiden Prabowo.
Keberanian Presiden Prabowo akan menentukan kita sebagai macan Asia, atau hanya sebagai kucingnya yang diberi nama Bobby.
Senin, 8 September 2025
Sutrisno Pangaribuan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Presidium Pergerakan Rakyat Indonesia Makmur Adil (Prima).