Oleh | Hatoguan Sitanggang
PADA awal abad ke-19, wilayah Tapanuli Raya, termasuk Samosir dengan pusatnya di Pangururan, berada dalam situasi konflik berkepanjangan akibat Perang Padri.
Pasukan Padri dari Minangkabau memasuki Tanah Batak dengan tujuan memperluas pengaruh kekuasaan dan agama. Konflik tersebut menimbulkan penderitaan mendalam bagi masyarakat Batak, di mana sekitar 70 persen penduduk dilaporkan gugur dalam perang, penindasan, maupun kelaparan.
Sebagian kecil yang selamat terpaksa bersembunyi di kawasan hutan untuk mempertahankan hidup.
Namun, kondisi berbalik ketika wabah kolera merebak di kalangan pasukan Padri. Wabah ini dipicu oleh banyaknya korban perang yang tidak dimakamkan secara layak, sehingga menciptakan lingkungan penyebaran penyakit.
Situasi tersebut memaksa pasukan Padri mundur dari wilayah Batak dan mengakhiri masa pendudukan mereka pada awal 1800-an.
Meski demikian, jejak penderitaan masih terasa, termasuk munculnya praktik perbudakan, di mana tawanan perang dijual kepada pedagang asing yang beroperasi di wilayah Tapanuli.
Kedatangan Kolonial Belanda
Sekitar tahun 1887, Belanda kembali memasuki dan menguasai Tapanuli Raya. Pemerintahan kolonial mempertahankan praktik kerja paksa (rodi) untuk membangun sejumlah infrastruktur strategis.
Proyek besar yang dikerjakan pada masa ini antara lain pembangunan jalan Tele–Pangururan, pembuatan Terusan Tano Ponggol, serta pengalihan aliran Sungai Binaga Sioto di Pangururan.
Selain itu, Belanda menerapkan strategi politik divide et impera atau pecah belah antar marga dan wilayah adat.
Pada 1904–1905, dilakukan pendataan Bius di seluruh Samosir, dan tercatat sebanyak 147 Bius, termasuk Bius Sitolu Hae Horbo yang berpusat di Pangururan.
Perubahan Struktur Ekonomi dan Pemerintahan
Sebelum masa kolonial, pusat aktivitas ekonomi di Pangururan berpusat di Onan Tiga Urat.
Namun, pada sekitar tahun 1907, Belanda memerintahkan pemindahan pasar tersebut ke kawasan Tano Ponggol dan menetapkannya sebagai Onan Panahatan.
Pemindahan ini menandai bergesernya kendali ekonomi masyarakat ke tangan pemerintahan kolonial.
Sistem pemerintahan tradisional Batak juga mengalami pergeseran. Struktur adat secara perlahan digantikan oleh administrasi kolonial, dengan penunjukan kepala Nagari sebagai perpanjangan tangan Belanda.
Meski demikian, perlawanan lokal tidak berhenti. Berbagai raja Batak masih melakukan perlawanan secara gerilya.
Sisingamangaraja XII tercatat sempat melintas di Pangururan menuju Dairi dan bertemu dengan Raja Sitempang di Hariara Sigurdung.
Dalam pertemuan tersebut, ia menancapkan tombaknya ke tanah dan dari batu itu memancar air yang hingga kini dikenal sebagai Aek Raja, yang tetap mengalir sebagai bagian dari sejarah perjuangan rakyat Batak. [Bersambung]
Penulis, Hatoguan Sitanggang, adalah Raja Jolo Keturunan Raja Sitempang [Raja Jolo Anak tertua dari Garis keturunannya]
Keterangan foto
Aek Raja berdekatan dengan Situs Hariara sigurdung yang terletak di Desa Lumban Pinggol, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir





