Oleh | DR. Iskandar Muda Hasibuan
MAJELIS Adat Aceh (MAA) merupakan institusi adat yang diakui secara hukum melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006 dan diperkuat secara moral dalam Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) tahun 2005.
Namun, peran strategisnya dalam mewujudkan tata kelola lokal yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan perdamaian berkelanjutan belum sepenuhnya dioptimalkan.
Artikel ini berargumen bahwa revitalisasi MAA merupakan prasyarat bagi keberlanjutan otonomi Aceh, tidak hanya sebagai entitas politik, tetapi juga sebagai sistem moral dan kultural.
Melalui pendekatan analisis institusional dan kultural, tulisan ini menyoroti pergeseran fungsi MAA dari lembaga simbolik menuju lembaga substantif dalam tata kelola daerah, sekaligus menyoroti tantangan kelembagaan, krisis legitimasi, dan peluang rekonstruksi sosial pascakonflik.
Kata kunci: Majelis Adat Aceh, UUPA, otonomi kultural, perdamaian berkelanjutan, tata kelola lokal
- Pendahuluan
Dua dekade setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2005, Aceh telah menjadi laboratorium penting bagi rekonsiliasi pascakonflik dan desentralisasi politik di Asia Tenggara (Aspinall, 2009; Barron, 2019). Melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006, Aceh diberikan hak otonomi luas untuk mengatur pemerintahan, hukum, dan kebudayaannya sendiri.
Di dalam kerangka tersebut, Majelis Adat Aceh (MAA) menjadi institusi yang secara formal diakui untuk memelihara, mengembangkan, dan menegakkan nilai-nilai adat dalam kehidupan sosial (UUPA, Pasal 98–100).
Namun, setelah hampir dua dekade berjalan, peran MAA kerap dipersepsikan sekadar simbol tradisi — belum menjadi institusi yang efektif dalam penguatan tata kelola dan rekonsiliasi sosial.
Artikel ini berupaya menjawab pertanyaan utama: bagaimana MAA dapat direvitalisasi untuk memperkuat otonomi kultural Aceh dan menjamin keberlanjutan perdamaian? Tulisan ini menempatkan MAA bukan hanya sebagai lembaga adat, tetapi sebagai konstitusi sosial yang hidup — yaitu mekanisme moral dan institusional yang mampu menyeimbangkan rasionalitas hukum modern dengan kearifan tradisional masyarakat Aceh.
- Tinjauan Konseptual: Adat, Otonomi, dan Perdamaian
Dalam perspektif antropologi politik, adat berfungsi sebagai sistem nilai dan norma yang menstrukturkan kehidupan sosial serta menjadi sumber legitimasi politik lokal (Geertz, 1983; von Benda-Beckmann, 2001). Di Aceh, adat memiliki kedudukan unik karena terjalin erat dengan nilai-nilai Islam, menciptakan sintesis antara hukum adat dan hukum agama (Ibrahim, 2012).
Konsep otonomi kultural (cultural autonomy) menekankan hak masyarakat untuk mengelola identitas dan institusinya sendiri dalam kerangka negara nasional (Kymlicka, 1995). Dalam konteks Aceh, UUPA menjadi instrumen konstitusional untuk menginstitusionalisasi hak tersebut, sementara MAA merupakan pelaksananya di tingkat sosial dan budaya.
Selain itu, peacebuilding pascakonflik yang berkelanjutan menuntut rekonstruksi kelembagaan berbasis budaya lokal, bukan hanya kesepakatan politik (Richmond & Mac Ginty, 2015). MAA memiliki potensi besar untuk menjalankan fungsi tersebut melalui mediasi adat, pendidikan nilai, dan pemulihan kohesi sosial di masyarakat Aceh
- Analisis: Peran Strategis dan Tantangan Institusional Majelis Adat Aceh
3.1 Peran Strategis
MAA memiliki tiga peran utama dalam konteks pembangunan perdamaian dan tata kelola daerah:
- Sebagai mekanisme keadilan restoratif.
MAA mampu menyelesaikan sengketa sosial berbasis komunitas melalui musyawarah dan rekonsiliasi, mengedepankan pemulihan relasi sosial daripada penghukuman (Fanani, 2018).
- Sebagai penjaga nilai moral publik dan identitas sosial.
Nilai-nilai seperti peumulia jamee, meusyuhu, dan peureuleuët dapat diintegrasikan ke dalam sistem etika publik daerah sebagai dasar tata kelola yang berkeadaban.
- Sebagai penghubung antara masyarakat dan negara.
Legitimasi adat menjadikan MAA lembaga yang dipercaya publik untuk menjembatani aspirasi masyarakat dalam proses kebijakan lokal (Sulaiman, 2020).
3.2 Tantangan dan Kelemahan
Beberapa tantangan mendasar yang dihadapi MAA meliputi:
Kelemahan kelembagaan dan ketergantungan fiskal.
Ketergantungan pada anggaran pemerintah daerah membatasi independensi dan inovasi program.
Fragmentasi antarwilayah.
Tidak adanya standar kelembagaan antara MAA kabupaten/kota menyebabkan ketidakkonsistenan fungsi dan legitimasi.
Krisis regenerasi dan digitalisasi.
Generasi muda kurang terlibat dalam kegiatan adat, padahal mereka merupakan agen penting dalam pelestarian nilai budaya di era global.
Ambiguitas hukum.
Tumpang tindih antara hukum adat, syariat Islam, dan hukum nasional menciptakan ketidakpastian yurisdiksi (Feener, 2013).
- Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Revitalisasi MAA memerlukan pendekatan kelembagaan dan kultural secara simultan. Beberapa langkah yang direkomendasikan adalah:
- Reformasi kelembagaan dan harmonisasi regulasi
Diperlukan revisi Qanun tentang MAA untuk mempertegas kedudukan hukum dan mekanisme koordinasinya dengan pemerintah daerah.
- Penguatan kapasitas dan kolaborasi akademik.
MAA perlu bermitra dengan universitas dan lembaga penelitian untuk mendokumentasikan adat secara ilmiah serta mengembangkan program pelatihan mediasi adat.
- Digitalisasi warisan budaya.
Pembuatan Digital Repository of Acehnese Customary Law akan memperkuat keberlanjutan pengetahuan adat dan akses publik terhadap sumber-sumber budaya.
- Regenerasi dan inklusivitas.
Pembentukan divisi pemuda dan perempuan dalam MAA dapat memperluas basis sosial serta memastikan keberlanjutan nilai adat di masa depan.
- Kesimpulan
MAA adalah simbol sekaligus substansi dari otonomi kultural Aceh. Ia merepresentasikan upaya masyarakat Aceh untuk menjaga keutuhan nilai-nilai sosial sekaligus meneguhkan perdamaian pascakonflik.
Revitalisasi MAA harus diarahkan bukan hanya pada pelestarian tradisi, tetapi juga pada transformasi kelembagaan menuju tata kelola yang partisipatif, inklusif, dan berkeadilan.
Otonomi Aceh akan bermakna penuh apabila adat difungsikan kembali sebagai “konstitusi sosial” — sumber moral dan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Dalam perspektif ini, MAA bukan warisan masa lalu, melainkan panduan menuju masa depan Aceh yang damai, bermartabat, dan berkeadaban.
Penulis, DR. Iskandar Muda Hasibuan, adalah Pengamat Sosial
——————————————–
Daftar Pustaka
(Disusun dengan gaya APA 7th edition; referensi bisa diperluas untuk versi publikasi jurnal sebenarnya)
- Aspinall, E. (2009). Islam and nation: Separatist rebellion in Aceh, Indonesia. Stanford University Press.
- Barron, P. (2019). When violence works: Post-conflict politics in Aceh. Asian Journal of Peacebuilding, 7(2), 133–156.
- Feener, R. M. (2013). Shari‘a and social engineering: The implementation of Islamic law in contemporary Aceh, Indonesia. Oxford University Press.
- Fanani, M. (2018). Restorative justice in Indonesian customary law. Journal of Southeast Asian Studies, 49(3), 415–437.
- Geertz, C. (1983). Local knowledge: Further essays in interpretive anthropology. Basic Books.
- Ibrahim, T. (2012). Adat dan syariat dalam sistem hukum Aceh. Jurnal Hukum dan Masyarakat, 4(1), 22–35.
- Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship: A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.
- Richmond, O. P., & Mac Ginty, R. (2015). Where now for the critique of the liberal peace? Cooperation and Conflict, 50(2), 171–189.
- Sulaiman, A. (2020). Customary institutions and peacebuilding in Aceh. Indonesia and the Malay World, 48(142), 200–218.
- von Benda-Beckmann, F. (2001). Legal pluralism and social justice in Aceh. Law & Society Review, 35(3), 467–493.





