Catatan | Martua Situmorang

SEBUAH pertemuan santai namun penuh makna berlangsung pada Selasa malam (4/11/2025) di salah satu restoran di Tarutung.
Dalam kesempatan itu, penulis bertemu dengan Rektor Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (Unita), Dr. Meslin Silalahi, M.Pd., dan Dosen Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung, Taripar A. Samosir, Ph.D.
Pertemuan yang berlangsung sejak pukul 19.00 hingga 21.30 WIB itu menjadi ajang diskusi serius mengenai peningkatan mutu pendidikan di Tapanuli Utara.
Dr. Meslin Silalahi dalam percakapan tersebut menyoroti perbedaan mencolok antara guru di Tapanuli Utara dan di Surabaya dalam pelatihan model pembelajaran kooperatif.
Menurutnya, guru-guru di Surabaya tampak sangat antusias dan aktif menggali informasi secara mendetail, sementara sebagian guru di Tapanuli Utara justru cenderung pasif.
“Padahal, model pembelajaran kooperatif sangat membantu siswa dalam memecahkan masalah melalui kerja kelompok dan saling ketergantungan positif,” ujar Dr. Meslin yang dikenal dengan pembawaannya ramah.
Namun, penulis menilai penerapan pendidikan kooperatif di daerah masih menghadapi tantangan besar, salah satunya budaya perankingan di sekolah.
“Selama kepala sekolah masih menonjolkan juara 1, 2, dan 3 di setiap kenaikan kelas, sistem belajar kooperatif sulit diwujudkan. Siswa yang cerdas cenderung enggan membantu temannya karena takut tersaingi,” ujarnya.
Kritik terhadap sistem perankingan ini pun kerap disampaikan melalui media sosial, meski pihak sekolah beralasan langkah tersebut untuk memotivasi siswa.
Sementara itu, Taripar A. Samosir, Ph.D. turut berbagi hasil penelitiannya tentang pengaruh Tunjangan Profesi Guru (sertifikasi) terhadap peningkatan kualitas pembelajaran di wilayah Tapanuli Utara.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunjangan profesi belum berpengaruh signifikan terhadap kreativitas guru dalam mengembangkan model pembelajaran. Sebagian besar masih mengajar dengan pola yang konvensional,” ungkapnya.
Dari perbincangan yang disebut sebagai “kuliah malam” itu, para peserta sepakat bahwa guru perlu lebih inovatif dan kreatif dalam mengajar agar pendidikan di daerah dapat lebih berdaya saing.
Pelatihan guru secara berkelanjutan dinilai penting untuk mewujudkan filosofi Batak yang terkenal: “Anakhon hi do hamoraon di ahu” — anak adalah harta yang paling berharga.
Pertemuan pun ditutup dengan canda ringan dan ucapan terima kasih kepada kedua akademisi yang, meski memiliki kesibukan tinggi, tetap meluangkan waktu untuk berbagi gagasan demi kemajuan pendidikan di Tapanuli Utara.
Penulis, Martua Situmorang, adalah pengamat masalah sosial dan pendidikan, mantan wartawan Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), tinggal di Tarutung, Tapanuli Utara







