SAMOSIR — SEGARIS.CO — Penunjukan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Samosir, Marudut Tua Sitinjak, sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Inspektorat memicu kritik keras dari berbagai kalangan.
Kebijakan rangkap jabatan tersebut dianggap berpotensi melanggar regulasi, menimbulkan konflik kepentingan, serta melemahkan independensi fungsi pengawasan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Samosir.
Salah satu suara penolakan datang dari mantan anggota DPRD Sumatera Utara, Oloan Simbolon. Pernyataannya bahkan menjadi viral setelah dimuat di salah satu media daring dan ramai diperbincangkan masyarakat.
Kritik serupa juga disampaikan pemerhati sosial Samosir, Hatoguan Sitanggang, yang menilai langkah itu sebagai preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan daerah.
Oloan menilai, penunjukan Sekda sebagai Plt Inspektur tidak sejalan dengan sejumlah regulasi, antara lain PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang menuntut independensi aparat pengawasan, serta Permendagri Nomor 64 Tahun 2007 yang menegaskan kedudukan Inspektorat langsung di bawah Bupati, bukan Sekda.
Ia juga menyinggung larangan rangkap jabatan ASN yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 5 Tahun 2014.
Selain itu, menurutnya terdapat kejanggalan dalam posisi Sekda yang juga merangkap sebagai Ketua TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) pengguna anggaran, namun sekaligus berperan sebagai pengawas anggaran melalui jabatan Plt Inspektur.
“Secara administratif memang dimungkinkan, tapi jabatan Plt seharusnya hanya bersifat sementara, bukan untuk mengendalikan kebijakan strategis,” tegas Oloan.
Ia pun meminta Komisi ASN (KASN) dan Ombudsman RI segera turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran serta memberikan sanksi tegas jika ditemukan pelanggaran hukum dalam penunjukan tersebut.
Di sisi lain, Hatoguan Sitanggang mempertanyakan alasan Bupati Samosir membiarkan praktik rangkap jabatan itu berlangsung.
Ia menilai, sejak Sekda merangkap sebagai Plt Inspektur, tidak ada capaian signifikan yang ditorehkan, bahkan kinerja pemerintahan dinilai makin menurun.
“Apa yang bisa dibanggakan? Tidak ada prestasi. Justru kondisi pemerintahan makin suram,” ungkap Hatoguan.
Ia menilai langkah itu menimbulkan potensi konflik kepentingan serius karena pejabat pengguna anggaran sekaligus bertugas mengawasi anggaran.
“Ini sangat janggal dan merusak kepercayaan publik,” ujarnya.
Hatoguan juga mendesak agar Bupati segera membuka seleksi terbuka untuk mengisi posisi Kepala Inspektorat secara definitif.
“Samosir butuh pengawas yang independen, bukan sekadar perpanjangan tangan kekuasaan,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menyinggung menurunnya nilai Korsupgah (Koordinasi Supervisi dan Pencegahan Korupsi) KPK untuk Kabupaten Samosir.
Tahun ini, skor yang diperoleh hanya 64,52 atau turun 2,17 poin dari tahun sebelumnya. Angka tersebut menempatkan Samosir pada kategori “Rentan” dan menjadikannya peringkat terbawah di Sumatera Utara.
“Inspektorat seharusnya jadi motor pengawasan, tapi kenyataannya kinerjanya merosot. Kalau begini, untuk apa rangkap jabatan?” kritiknya.
Hatoguan menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar teknis administratif, tetapi menyangkut integritas, transparansi, dan prinsip good governance.
Ia mengingatkan, jika dibiarkan, kondisi tersebut akan menjadi contoh buruk bagi daerah lain.
“Bupati harus bersikap tegas. Kalau diam saja, publik punya alasan untuk curiga bahwa ada kepentingan di balik kebijakan ini,” pungkasnya. [Ingot Simangunsong/***]